Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Ayo Rek, Awake Dijogo!"

4 April 2020   16:05 Diperbarui: 4 April 2020   16:07 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Japelidi. Teks diolah dan disesuaikan kebutuhan. Desain: Dok.Pribadi

Menjawab pertanyaan, "Dari saluran apa Anda sering menerima hoaks tentang pandemi Covid-19? WhatsApp menjadi saluran paling banyak (78,5%), lalu Facebook (12,4%).

Hal ini cukup memprihatinkan. Informasi yang diterima masyarakat melalu WhatsApp (37,1%) setengahnya adalah kabar menyesatkan (78,5%).

"Meski tidak bisa dikatakan mewakili warga Indonesia secara umum, survei di atas (dengan margin of error 6%) setidaknya bisa memberikan gambaran tentang pengalaman dan harapan warga saat ini," ungkap Wendratama.

Cara berpikir dan pilihan bertindak masyarakat saat menghadapi Covid-19 justru digerakkan oleh "virus informasi" yang cepat menyebar melalui media sosial. Pergerakan "virus informasi" ini sangat cepat, lebih masif, dan berpenetrasi individual.

Pemerintah pusat dan daerah terkesan gagap, ambigu, ragu-ragu saat memandu masyarakat menghadapi Coid-19. Mudik tidak dilarang namun masyarakat dihimbau tidak mudik, merupakan kasus komunikasi yang tidak efektif. Alih-alih menjalin komunikasi yang efektif, kita justru disuguhi adegan "jurus dewa mabuk".

Akibatnya, resistensi masyarakat menerima informasi resmi dari pemerintah, termasuk imbauan/larangan membuka warung kopi, kian menguat. Bukan mereka tidak manut pada anjuran pihak terkait. Masyarakat menggunakan logika berpikirnya sendiri.

Sayangnya, dan ini patut diwaspadai, setengah dari informasi yang memandunya adalah kabar yang menyesatkan.

Bagaimana cara kita memecah kompleksitas permasalahan itu? Kembali pada lingkup pemerintahan yang paling kecil, yakni RT/RW di setiap desa. Semakin banyak desa yang melakukan edukasi kepada warganya.

"Pak Lek, sakderenge melbet griyo, tangane diwisuhi riyen ndamel sabun." (Om, sebelum masuk rumah tangannya dicuci pakai sabun)

"Mbah, menawi watuk kedah ditutupi kale tisu. Menawi Panjenengan mboten gadah tisu, ditutupi kale lengen." (Mbah, kalau batuk ditutupi pakai tisu. Kalau tidak punya tisu, ditutupi dengan lengan tangan)

"Awas jaga jarak. Mboten angsal cidek-cidek (tidak boleh terlalu dekat). Jaraknya 1,5 meter."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun