Saya tidak tahu persis apakah hajatan pernikahan yang akan digelar pada Minggu, 29 Maret 2020 akan tetap dilaksanakan atau ditunda. Undangan menghadiri pernikahan ini saya terima sejak satu minggu yang lalu.Â
Seiring dengan perkembangan situasi dan himbauan pemerintah, memang sebaiknya gelaran pernikahan yang menghadirkan banyak orang itu ditunda.
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, mulai Rabu (25/3), secara bertahap telah memulangkan sekitar 4000-an santri. Para santri yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia bisa ngaji di rumah masing-masing.
Menyusul kepulangan para santri Tebuireng, hari ini Jum'at (27/3), Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang juga mengirim para santri pulang ke rumah.Â
Pemulangan para santri dilaksanakan secara bergelombang. Wali santri yang menjemput anaknya diatur cukup ketat. Armada bus yang mengantarkan para santri juga dipastikan keamanannya.
Ngono yo ngono nanging yo ojo ngono
Menghadapi kondisi tidak menentu seperti sekarang kita tidak bisa jumawa. Tidak perlu merasa percaya diri berlebihan bahwa kita sehat-sehat saja. Kata orang Jawa, "Ngono yo ngono nanging yo ojo ngono."
Maksudnya, sehat ya sehat, tapi jangan lengah terhadap kesehatan sendiri. Waras ya waras, tapi jangan merasa paling waras. Kalau ukara yang sarat nilai kebijaksanaan itu dilebarkan, ia bisa menjadi seperti ini: benar yang benar, tapi jangan merasa paling benar.Â
Baik ya baik tapi mbok ya menghitung kebaikan untuk orang lain. Kaya ya kaya, tapi jangan lantas pamer mobil atau tas mewah.
Ukara Jawa itu juga bisa dipakai untuk mengoreksi keimanan kita. Misalnya, iman ya iman tapi apa iya iman kita diakui oleh Tuhan.
Kebudayaan kita adalah kebudayaan yang "ngono yo ngono" tanpa keseimbangan terhadap segala kemungkinan "nanging yo ojo ngono". Ngono yo ngono, kata anak muda zaman sekarang, tak ubahnya ungkapan "Losss!" Tidak pakai direm.