Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memaknai "Amul" Virus, antara Kebetulan dan Kebenaran

22 Maret 2020   21:00 Diperbarui: 23 Maret 2020   02:34 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: kompas.com/AFP Photo/THOMAS COEX

Dua orang sahabat yang lama tidak berjumpa hadir dalam sebuah acara yang sama. Keduanya kaget bukan kepalang. Perjumpaan yang tidak disangka dan tidak dinyana. Mereka berdua menganggap peristiwa itu sebagai sebuah kebetulan.

Kita juga kerap mengalami perjumpaan di luar perkiraan nalar semacam itu. Kaget, heran, surprised lalu dengan mantap kita menyatakan hal itu adalah kebetulan.

Dahulu, di zaman sebelum marak transportasi online, andalan saya adalah angkutan kota (angkot). Berdiri di pinggir jalan menunggu angkot lewat. Beberapa menit kemudian lewatlah "angkot itu". Namun, semenit kemudian lewat lagi "angkot berikutnya".

Pertanyaannya, mengapa "angkot itu" datang lebih awal, sedangkan "angkot berikutnya" terlambat beberapa menit? Bagaimana jika saya datang terlambat beberapa menit? Sehingga berkat keterlambatan itu saya berjumpa dengan "angkot berikutnya"? Biasanya kita menyebut peristiwa itu juga sebuah kebetulan.

Baiklah, lantas siapa yang mengatur pertemuan saya dengan "angkot itu" yang berlangsung secara "kebetulan" itu? Bagaimana pengaturan mekanisme pertemuannya dalam satuan waktu menit, detik, hingga tiba pada momentum yang "pas"?

Adapun dalam lanskap adegan yang terhampar di dunia ini, pertemuan saya dengan "angkot itu" adalah secuil peristiwa di antara miliaran bahkan triliunan kejadian lain yang juga berlangsung melalui kebetulan demi kebetulan.

Benarkah semua itu cukup diringkas ke dalam satu kata saja: kebetulan?

Tahun Duka Cita

Demikian pula peristiwa yang dikenang sebagai 'Amul Huzn, tahun duka cita, yang dialami Nabi Muhammad Saw sesungguhnya lebih dari sekadar "kebetulan". Berlangsung pemboikotan pada tahun 617 M. Perjuangan yang cukup berat. Pada tahun itu pula Abu Thalib, paman Nabi, meninggal dunia.

Tuhan masih akan "menggoda" Nabi dengan peristiwa yang tak kalah sedih. Beberapa hari berikutnya, usai paman Nabi wafat, Khadijah pun menyusul. Ini peristiwa "kebetulan" macam apa lagi?

Isra' Mi'raj berlangsung ketika Nabi Muhammad mengalami "puncak" kesedihan itu.

Kita boleh menyebut rangkaian peristiwa sebagai kebetulan. Namun, ia tidak benar-benar "bersifat" kebetulan karena terjadi begitu saja. Ia adalah kebenaran. Sedangkan pemilik kebenaran adalah Tuhan itu sendiri. Maka, peristiwa yang kita sebut sebagai kebetulan, sesungguhnya dimuati oleh kebenaran. Tuhan sengaja menciptakan momentum demi momentum yang berisi kebetulan dan kebenaran dalam hidup ini.

Ringkas kata, Tuhan menyapa hamba-hamba-Nya melalui momentum peristiwa yang dimuati oleh kebetulan dan kebenaran.

Apapun peristiwa yang kita hadapi: sedih atau gembira, susah atau bahagia, nikmat atau musibah, sejatinya tidak berlangsung begitu saja. Kejadian itu dihadirkan Tuhan agar kita membalas kembali sapaan-Nya.

Dalam konteks dialektika semacam itu, kita menggali hikmah peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad. Isra' adalah perjalanan horizontal menyibak "cakrawala kebetulan". Sedangkan Mi'raj adalah perjalanan vertikal menembus "lapisan kebenaran".

Menyibak "cakrawala kebetulan" itu maksudnya kita memperlakukan realitas, fakta, kejadian, peristiwa secara apa adanya. Tanpa ambisi "udang di balik batu". 3+2 = 5 adalah kebetulan dalam dimensi horizontal.

Adapun menembus "lapisan kebenaran" adalah kejernihan kita memaknai setiap peristiwa. Makna tertinggi adalah manakala kita memiliki kesadaran bahwa Tuhan punya maksud menciptakan setiap momentum. Tugas kita adalah menjawab amr atau perintah-Nya: "Aku punya maksud menciptakan semua momentum itu? Temukan ia!" Demikian kira-kira bahasa "budaya" atas pertanyaan Tuhan.

Kita pun tersungkur dalam sujud karena apa pun yang Dia ciptakan ternyata tidak ada yang sia-sia. Semuanya memiliki makna kebenaran. Semuanya bermanfaat untuk hidup dan kehidupan kita.

Tahun Covid-19

Jujur kita mengakui tengah dibuat kalang kabut oleh makhluk tak kasat mata. Yang kecil, yang tak terlihat, yang begitu lembut ternyata bukan berarti tidak ada. Ia sangat bisa mengada, bahkan adanya melebihi ada menurut persepsi indera kita.

Dan memang demikianlah "blueprint" kebudayaan atau bahkan peradaban kita. Mengandalkan yang kasat mata, yang wadag, yang megah menjulang, yang mencolok---yang semua itu diparameteri oleh ukuran-ukuran dangkal materialisme. Yang serba kasat mata, pada akhirnya, diseimbangkan kembali oleh yang tidak kasat mata.

Pada tahun kesedihan ini, tahun Covid-19, kita memerlukan tenaga batin untuk menjalani Mi'raj. Kita bisa memulainya dengan menjawab pertanyaan: apa maksud Tuhan menggiring kita ke tengah situasi seperti ini? Apakah semua ini hanya kebetulan?[]

Jagalan, 22 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun