Di tengah keramaian dan kepanikan sebagian masyarakat "menyambut" virus Corona, saya menerima kabar yang tak kalah mengejutkan. Kabar ini datang dari dunia pendidikan.
Adalah Raissa Kanaya, siswa SMA Eksperimental Salam Yogyakarta, menulis surat pernyataan tidak mengikuti Ujian Nasional (UN). Pak Toto Rahardjo menayangkan surat pernyataan tersebut di status Facebook-nya:
SURAT PERYATAAN TIDAK MENGIKUTI UJIAN NASIONAL PAKET C
Saya yang bertanda tangan di bawah:
Nama : Raissa Kanaya
TTL : Jakarta, 30 Desember 2001
Asal Sekolah : Sanggar Anak Alam
NISN : 0016352601
Menyatakan tidak mengikuti Ujian Nasional paket C pada tanggal 04-07 April 2020. Adapun alasan secara pribadi, saya merasa tidak perlu tanda kelulusan dari Negara untuk menguji kualitas pendidikan yang saya dapat dari sekolah. Alasan lainnya adalah esensi pendidikan terletak pada penerapan nilai-nilai di kehidupan sosial, bukan terletak pada tanda kelulusan berupa Ijazah.
Demikian surat pernyataan ini saya buat. Dengan segala hormat saya ucapkan terima kasih.
Rabu, 26 Februari 2020
Raissa Kanaya
Wali murid
(Citra Mega Sari)
Usai membaca sikap Raissa saya seperti mendapat durian runtuh. Kaget. Trenyuh. Kagum. Bangga. Semua campur aduk.
Ini anak menyatakan sikap dengan jelas, sekaligus menyampaikan kritik tajam. "Adapun alasan secara pribadi, saya merasa tidak perlu tanda kelulusan dari Negara untuk menguji kualitas pendidikan yang saya dapat dari sekolah," tulisnya.
Kalau memakai ungkapan yang blokosuto, pernyataan itu bisa berbunyi seperti ini: "Apa hak pemerintah menguji kualitas pendidikan yang saya terima. Nilai kualitas pendidikan tidak sekadar diwakili oleh deretan angka yang tertera di ijazah. Itu pun baru pencapaian prestasi pribadi. Prestasi yang sesungguhnya dibuktikan oleh apakah ilmu yang saya peroleh memberikan manfaat untuk kehidupan sosial di masyarakat ataukah tidak."
Tidak heran di akhir surat pernyataan, Raissa menegaskan, "Alasan lainnya adalah esensi pendidikan terletak pada penerapan nilai-nilai di kehidupan sosial, bukan terletak pada tanda kelulusan berupa Ijazah."
Alasan Raissa mengingatkan saya pada pernyataan Rocky Gerung. "Ijazah itu tanda Anda pernah sekolah. Bukan tanda Anda pernah berpikir."
Raissa menggugat dengan sikap yang bersahaja bahwa selama ini pendidikan kita masih bertumpu pada formalisme kompetensi yang mengabdi pada kepentingan industri kapitalisme.
Kurikulum pendidikan kita pun menganut "madzhab" kompetensi. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum 2013 (K13) memiliki basis yang sama.
Output pendidikan kita memproduksi manusia yang kompeten. Jika ingin menjadi manusia berkompetensi yang diakui formalitasnya, sekolah telah menyediakan perangkat keras dan perangkat lunak. Kunyah semua paket belajar sesuai amanah kurikulum.
Lalu, di kelas akhir (Kelas IX atau Kelas XII) sekolah akan mengukur dan menilai kompetensi siswa secara nasional. Formalisme pendidikan masih dipelihara oleh pemerintah.
Paradigma yang jamak diyakini kebenarannya itu lantas digugat oleh Raissa. Penerapan nilai-nilai pendidikan ke tengah kehidupan sosial masyarakat tidak terutama ditentukan oleh kompetensi, melainkan dibuktikan melalui nilai kemanfaatan ilmu yang telah dipelajari.
Tentu saja, kita tidak tengah mempertentangkan kompetensi vs kemanfaatan. Keduanya bisa saling melengkapi karena masing-masing berada dalam satu lingkaran yang sama.Â
Pendidikan yang mengabdikan diri secara total pada kompetensi industri akan kehilangan nilai manfaat di tengah dinamika kehidupan sosial politik agama. Pendidikan tidak bermartabat lagi. Ia tak ubahnya tangga untuk mencapai ambisi ekonomi, politik dan kekuasaan.
Kompetensi memerlukan pondasi nilai kemanfaatan. Islam menyatakan, manusia yang paling berkualitas adalah manusia yang paling banyak memberikan manfaat pada sesama. Kualitas manusia diukur dari apakah ia bermanfaat pada sesama ataukah menjadi ancaman bagi lingkungannya.
Bermanfaat pada lingkungan memerlukan sikap mental yang positif: kreatif, inovatif, solutif, pantang menyerah serta sejumlah karakter positif lainnya. Fadlilah (atau sebut saja bakat, talenta, minat) yang telah diberikan Tuhan kepada setiap anak ditopang oleh skill dan kompetensi yang mumpuni. Perpaduan antara fadlilah, kompetensi, dan kemanfaatan akan melahirkan para pakar yang ilmunya manunggal dengan persoalan dan penderitaan manusia.
Sayangnya, pendidikan kita sama sekali belum melirik bahwa setiap anak, setiap siswa, setiap manusia memiliki fadlilah yang berbeda-beda. Pendidikan kita masih menempati "maqam mesin", yang mencetak, mengukur, dan menilai manusia dengan standarisasi alat ukur kompetensi yang sama.
Yang kita upayakan adalah bukan mendidik manusia agar bermanfaat pada sesama, melainkan memanfaatkan pendidikan demi ambisi kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.
Pada konteks "kegelapan" semacam itu, Raissa telah melesat bersama keyakinan dan pilihan sikapnya, meninggalkan kita di belakang yang tertatih-tatih karena diserimpung persoalan pendidikan yang "itu-itu" saja.[]
Jagalan, 030320
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H