Kalau Anda menjadi guru sekolah dasar, apa jawaban yang Anda pikirkan ketika mendapati soal seperti ini. "Reza merasa...memiliki seorang sahabat".
Titik-titik tersebut bisa diisi beberapa kata yang sesuai, misalnya senang, bahagia, beruntung. Siswa kelas satu sekolah dasar mungkin lebih akrab dengan dua kata, senang dan bahagia, ketimbang kata yang terakhir.
Namun, apa yang terjadi? Jawaban kata "senang" dan "bahagia", dinyatakan kurang tepat atau minimal skor nilainya dikurangi.
Yang benar dan mendapat skor penuh adalah jawaban "beruntung". Apa sebab? Jawaban tersebut tercantum secara tekstual di buku pelajaran. Jadi, jawaban yang benar menurut guru adalah apabila sesuai dengan yang tertulis di buku pelajaran.
Saya tergelitik sekaligus gemas. Saya membatin, "Seperti inikah 'bencana' kemiskinan nalar sehat dimulai?"
Kaidah bentuk soal "isilah titik-titik" seharusnya hanya memiliki satu jawaban saja. Tidak boleh ada pilihan lain. Misalnya, "Presiden pertama Indonesia adalah..." atau "Persatuan Indonesia adalah sila Pancasila ke..."
Tidak bisa beberapa kata yang memiliki nilai kebenaran yang sama dijadikan jawaban pada soal isian. Misalnya, "Kita memberikan sedekah kepada..." Jawabannya memiliki beberapa kemungkinan: orang miskin, yatim piatu, pengemis, peminta-minta.
Atau "Ibu Kartini dilahirkan di..." Kemungkinan jawabannya bisa Jepara, Jawa Tengah, Indonesia, atau malah diisi kamar tidur.
Bentuk soal isian ini tergolong favorit karena sering ditampilkan di lembar ujian. Sayangnya, jawaban dari soal isian cenderung tekstual. Siswa hanya melakukan recognizing dan recalling facts. Tingkat terendah dari Taksonomi Bloom.
Cara berpikir tekstual diajarkan kepada siswa sejak kelas satu sekolah dasar. Kemudian berlanjut hingga jenjang yang lebih tinggi.
Tradisi berpikir ala sekolah masih berputar-putar di lingkaran hafalan teks. Siswa makin terbiasa berpikir secara Lower Order Thinking (LOT).
Jarang didapati soal yang mengajak siswa berpikir terbuka. Pertanyaan yang berisi jawaban uraian disajikan dalam porsi yang terbilang sedikit. Itu pun lagi-lagi sebatas recognizing dan recalling facts. Sebutkan, siapa, di mana, kapan menjadi tradisi rutin soal ujian sekolah.
Mengapa berpikir LOT masih menjadi tradisi yang dilembagakan? Apakah ini bukan bencana masa depan manakala High Order Thinking (HOT) menjadi skill untuk memenangi persaingan di era teknologi digital?
Atau kita sebaiknya tertawa ngakak (LOL) karena saking sedihnya?
Jagalan 300919
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H