Santri menulis? Ah, itu bukan berita baru. Akan menjadi kabar istimewa ketika di tengah arus digitalisasi, para santri berhimpun memberdayakan diri. Mereka turut menjadi bagian gerakan literasi digital.
Dunia pesantren memang memiliki kehidupan yang khas. Selain mobilitas kegiatan yang tinggi, mereka berada dalam atmosfer keilmuan yang kental.
Pesantren membentangkan cakrawala ilmu. Kehidupan kreatif menemukan cuacanya yang paling ideal. Sanggupkah para santri memanfaatkan atmosfer tersebut untuk memacu potensi dirinya?
Sabtu (28/09/2019), di Pondok Pesantren Nurul Huda Mergosono Malang, saya menjumpai gairah kreativitas yang menyala. Adalah para santri, rata-rata mahasiswa perguruan tinggi, menyelenggarakan workshop menulis.
Menariknya, acara ini bukan sekadar ajang bagi-bagi motivasi. Mereka membentuk kelompok kerja sesuai tema yang mereka sepakati bersama. Tema ini diambil dari rubrik Nun Media, website hasil besutan mereka.
Bersikap Adil dan Seimbang
Pekerjaan saya jadi ringan. Tugas saya adalah mengajak mereka berpikir dan menulis secara seimbang.
"Jangan sampai kita kehilangan keseimbangan saat menulis. Seimbang itu bisa berarti adil, indah, bijaksana," pesan saya kepada kawan-kawan santri.
Ketika menulis puisi, misalnya, Anda perlu bersikap adil. Puisi yang dilahirkan oleh pikiran dan perasaan yang adil akan meneteskan keindahan di hati pembaca.
Mengapa bersikap adil menjadi kunci saat menulis? Hidup adalah keseimbangan yang mengalir dan bergetar. Ada api dan air, siang dan malam, hitam dan putih, tinggi dan rendah, baik dan buruk, dan seterusnya.
Dua fakta tersebut bukan saling melawan atau berlawanan, melainkan pasangan yang diikat oleh cinta. Api akan memanggil air. Malam setia menanti siang. Tinggi bersetia terhadap rendah.
Penulis, apapun karya yang dihasilkan, adalah manusia yang tegak menyeimbangkan kemiringan-kemiringan.