Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menanam "Pohon Kesadaran" di Tengah Keadilan Sosial yang Belum Merata

20 September 2019   21:13 Diperbarui: 21 September 2019   09:31 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga belajar menulis dan membaca dalam rangka pemberantasan buta aksara di SMA 1 Negeri Klego, Desa Jaten, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah| Ilustrasi: Kompas/P Raditya Mahendra Yasa

Menyimak kisah Pak Izar dan Kang Mahbub, dua sahabat yang mengabdikan diri di Dusun Bajulmati, awal tahun 90-an, membuat hati miris. Dusun yang terletak di Kecamatan Gajahrejo Kabupaten Malang, waktu itu dikurung oleh buta aksara akut.

Menurut cerita dua sahabat saya, ada siswa tamat sekolah dasar tapi belum lancar membaca. 

Tidak sedikit orangtua mengajak anak bekerja di ladang daripada mengantarkannya ke sekolah. Jamak ditemukan orang tua, juga anak-anak, tidak bisa membaca.

Kondisi Dusun Bajulmati dua puluh sembilan tahun lalu, masih dialami oleh saudara kita yang tinggal di kawasan timur Indonesia. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menunjukkan angka buta aksara masih sekitar 1,93 persen atau 3,2 juta orang.

Pemerintah terus berupaya memberantas buta aksara. Tahun ini, untuk memperingati Hari Aksara Internasional, Indonesia memilih tema "Ragam Budaya Lokal dan Literasi Masyarakat".

Pemberantasan buta aksara akan bersentuhan dengan bidang kebutuhan yang lain, seperti infrastruktur pendidikan, kualitas guru, akses perpustakaan, pemberdayaan ekonomi. Satu hal tidak boleh diabaikan adalah penanganan gizi buruk.

Bisa dipastikan, kantong-kantong buta aksara berada di daerah pinggiran, terpencil dan terisolasi. Daerah itu juga menjadi kantong-kantong kemiskinan. Buta huruf berkelindan dengan keterbatasan, kemiskinan serta ketidakberdayaan.

Untuk itu, pemberantasan buta aksara harus memerhatikan konteks sosial dan budaya masyarakat setempat. Pemberantasan buta huruf yang diartikan secara minimalis akan kurang memberikan manfaat. Mengapa?

Masyarakat yang mengalami buta huruf bukan hanya kesulitan mengakses informasi. Mereka juga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar, seperti pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi.

Fakta yang diceritakan Pak Izar menunjukkan rendahnya kesadaran orangtua terhadap pendidikan. Lebih baik anak bekerja di ladang, membantu mencari uang, ketimbang belajar di sekolah.

Dari sisi orangtua, sikap tersebut tidak salah karena keterbatasan informasi dan pola pikir. Namun, pada sisi yang lain timbul pertanyaan, bagaimana memberdayakan hidup mereka?

Pemberantasan buta aksara tidak sekadar mengajar baca tulis guna melek huruf. Upaya ini semacam pintu masuk, begitu pintu terbuka, banyak hal bisa dilakukan. Konteks sosial budaya masyarakat jangan sampai terabaikan.

Sayangnya, pemberantasan buta aksara sering dikaitkan dengan literasi dalam pengertian yang sempit. Literasi yang dipahami secara konvensional tidak lebih sekadar gerakan memberantas buta huruf.

Pengertian ini tidak akan memberikan manfaat selain mengajarkan masyarakat baca dan tulis. Hanya itu, tidak lebih.

Padahal, tantangan yang dihadapi daerah terpencil, terpinggirkan dan terisolasi cukup kompleks. Mereka bukan mengalami buta aksara saja. Mereka dibelenggu oleh rantai kemiskinan. Hal ini tidak sertamerta terselesaikan dengan modal kemampuan baca dan tulis saja.

Demikian pula mengatasi akses kesehatan yang sulit, kesadaran pendidikan yang rendah, hingga beragam keterbelakangan yang menghimpit, tidak bisa mengandalkan solusi melek aksara.

Kompleksitas keterbelakangan, baik yang terjadi di daerah terpencil maupun di pinggiran kota-kota besar, merupakan akumulasi akibat ketidakadilan sosial. 

Menumpuk, tumpang tindih, berlipat-lipat, sedemikian rupa, sehingga yang dibutuhkan adalah gerakan bersama yang menyentuh kesadaran individual dan komunal.

Gerakan yang diberangkatkan dari modal sosiologis dan antropologis akan memiliki akar yang kuat. Dia ditanam lalu tumbuh di tanah kesadaran warga tidak sebagai "pohon kesadaran" yang asing.

Melek aksara adalah satu tahap pencapaian dari sekian tahap berikutnya. Dia adalah akibat logis dari gerakan pemberdayaan masyarakat.

Ternyata yang kita hadapi bukan sekadar persoalan buta aksara, lalu bagaimana upaya memelekkan masyarakat. Keadilan sosial yang belum merata itulah penyakit yang sesungguhnya.[]

Jagalan 200919

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun