KPI bukan malaikat pengawas yang serba bisa mengawasi setiap tayangan, menit per menit. Akan ironis apabila KPI juga memaksakan diri menjadi malaikat bermata elang serta over acting menjalani perannya.
Baik pemerintah, KPI, stasiun televisi maupun masyarakat perlu melihat konteks bagaimana perilaku penyiaran dan standar program siaran diterapkan.
Lingkaran Setan
Tidak dimungkiri, tayangan televisi adalah bisnis media yang mengejar keuntungan. Kita tidak menutup mata bahwa rating yang tinggi adalah pendapatan iklan yang juga tinggi. Bagaimana keuntungan diraih oleh perusahaan televisi, inilah soalnya.
Acara televisi dibanjiri sinetron dan hiburan. Hal ini tidak terlepas dari selera masyarakat. Adapun bagaimana selera masyarakat dibentuk, program televisi memiliki andil di dalamnya. Ini menjadi lingkaran setan yang terus berputar.
Perusahaan televisi ingin mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Masyarakat ingin melampiaskan selera sepuas-puasnya. Klop sudah!
Lalu datanglah KPI dengan membawa sejumlah pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Sedangkan publik kadang tidak tahu bahwa aksi sensor dilakukan oleh tim internal stasiun televisi bersangkutan. Itu pun antar stasiun televisi menerapkannya secara berbeda.
Tidak ada cara yang lebih efektif untuk mengontrol tayangan televisi selain melibatkan peran keluarga. Tugas pemerintah adalah mengatasi keluarga yang miskin literasi media.
Selama ini penonton masih dianggap sebagai subjek yang pasif dan tidak cerdas. Sensor dan blokir yang dilanggengkan tanpa menghitung konteks adegan, justru mencerminkan wajah buruk kita sendiri.
Jagalan 190919
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H