Seiring waktu berjalan, produk jualan sekolah hebat mengalami titik jenuh. Tidak mau kehilangan pasar, upaya mem-branding sekolah terus digencarkan. Salah satunya adalah tahfidz atau menghafal Al-Qur'an menjadi program unggulan.
Hingga kini, yang tersisa dari sekolah hebat adalah sekolah dengan biaya mahal. Sekolah mahal identik dengan sekolah berkualitas. Sedangkan sekolah murah atau gratis adalah sekolah tidak berkualitas. Pendidikan mengalami distorsi yang hebat.
Cukup disayangkan apabila latar belakang  mengikuti jejak sekolah berbiaya mahal, dengan seabrek muatan lokal, berada di balik pemikiran disahkannya Peraturan Bupati Jombang.
Pertanyaan pun bermunculan. Visi Jombang berdaya saing, mengapa tidak diwujudkan melalui peningkatan kompetensi guru? Apalagi di era otonomi daerah, kualitas guru tidak lagi terbatas tanggung jawab pemerintah pusat.
Pemerintah kabupaten dan kota berwenang mengelola sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).
Mengapa wewenang ini tidak dioptimalkan untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi masyarakat, termasuk dengan mendorong ketersediaan tenaga guru yang berkualitas?
Mengapa pembuat kebijakan pendidikan selalu mencemaskan akhlak dan perilaku peserta didik, tapi sembrono bahkan abai terhadap kemampuan berpikir logis yang menjadi fondasi bagi manusia berkarakter dan berdaya saing?
Urusan Perut
Kita harus kembali menelan ludah. Persoalan pendidikan belum beranjak dari "urusan perut" dan kesejahteraan guru.
Temua tim peneliti Research in Improving System of Education (RISE) Indonesia memperlihatkan masih rendahnya terobosan dan inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan kota dalam meningkatkan kualitas guru.
Kebijakan atau program reformasi guru yang tersebar di 43 kabupaten dan kota, 63% berbentuk tunjangan daerah untuk guru. Sekitar 27 % disalurkan berdasarkan kinerja guru atau kriteria tertentu. Sedangkan 35% diberikan tanpa kriteria sama sekali.
Adapun kebijakan pemerintah daerah yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas guru melalui perbaikan kemampuan mengajar dan pengetahuan mereka hanya sekitar 9%.