Bagaimana tidak, jika sebanyak 7 juta jiwa diperkirakan meninggal setiap tahun karena terpapar pencemaran udara.
Polusi udara, pemanasan global, perubahan iklim bukan sekadar masalah sains. Bukan pula persoalan fisika dan biologi semata.
Memandang persoalan secara utuh melalui perspektif berpikir yang komprehensif, bahkan melalui lintas disiplin ilmu, akan mengikis distorsi pandangan yang sepihak.
Lingkungan hidup yang memburuk merupakan akibat tingkah laku kolektif manusia yang digawangi antroposentrisme. Kegiatan ekonomi hingga penggunaan energi dan teknologi menempatkan alam sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.
Padahal, alam adalah "saudara tua" manusia. Selain dijaga keseimbangannya, dia diperlakukan penuh hormat (respect for nature) serta bertanggung jawab (moral responsibility for nature).
Jadi polusi udara merupakan persoalan yang komplek. Dia tidak terkait dengan penggunaan bahan bakar fosil saja. Atau sembrono saat menangani kebakaran lahan gambut semata.
Asap yang mengepung adalah kontinuasi logis, akibat etika lingkungan, keadilan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak ditegakkan sebagai pilar membangun dunia yang lebih beradab.
Sayangnya, kita sering tidak peduli. Mengapa? Menurut Dan Kahan, profesor hukum dan psikologi di Yale Law School, Amerika Serikat, dan rekan-rekannya, mengetahui lebih banyak fakta mengenai udara yang tercemar dan lingkungan hidup yang rusak tidak serta merta membuat publik peduli.
Sebaliknya, kurangnya kepedulian lebih berkaitan dengan keyakinan dan nilai yang dianut oleh seseorang.
Memetakan persoalan lingkungan pada skala lokal lalu menggunakan etika lingkungan sesuai kearifan lokal daerah tersebut merupakan salah satu solusi yang bisa ditempuh.
Solusi model ini menekankan gerakan kolektif ketimbang aksi individu. Semua untuk semua, tidak satu untuk semua. Gerakan kolektif bisa berjalan jika dihidupi oleh sistem nilai yang selama ini dianut masyarakat serta diyakini sebagai warisan budaya.