Publik pun bereaksi. Jagat media sosial heboh. Jor-joran tanda pagar tak terbendung.
Kalau melarang rokok jangan setengah-setengah, yang total sekalian. Demikian pula mengurus dan melindungi anak jangan "tebang pilih" kasus.
Anehnya, selama ini rokok dikutuk dan sekaligus dinikmati pajaknya. Urusan perlindungan anak pun setali tiga uang. Eksploitasi anak bukan hanya ditemui saat anak memakai kaos berlogo perusahaan rokok.
Anak-anak harus diselamatkan dari zat adiktif rokok. Kita sepakat itu. Satu dari lima remaja Indonesia usia antara 13 dan 15 tahun merokok. Angka paling tinggi di Asia Tenggara.
Namun, ada zat "adiktif" yang disebarkan melalui tayangan televisi. Paparan sinetron dan tayangan televisi yang tidak bermutu tak kalah berbahaya.
Bahkan, anak yang bebas melihat tayangan televisi di kamar berpotensi memiliki kebiasaan baru. Dari 700 siswa sekolah menengah berusia 12 sampai 14 tahun, ditemukan bahwa mereka yang memiliki TV di kamar tidur dua kali lebih mungkin untuk mulai merokok.
Kita tengah dihadang pekerjaan besar yang tidak cukup diselesaikan melalui regulasi, undang-undang atau menggalang dukungan. Â
Setiap pihak hendaknya meletakkan ego kepentingannya. Kembali saja ke khittah, yakni membela dan memperjuangkan masa depan anak. Bukan sebagai atas nama atau demi kepentingan. Namun, menjalaninya secara jujur, terbuka dan seimbang.
Setiap institusi meletakkan dirinya pada syariat perjuangan dan thariqah pembelaan yang bertemu dalam satu visi masa depan anak.
Kalau menggalang dukungan terus dan bertahan pada argumen pembenaran, kapan ketemu jalan tengahnya?[]
Jagalan 120919