Usai mandi pagi, badan yang terasa segar belum sepenuhnya mengusir kantuk. Safir, bocah berusia 7 tahun, meletakkan kepalanya di atas bantal. Padahal ia sudah memakai seragam sekolah.
Ibunya segera merengkuh pundak Safir. Anak itu menggeliat. Di hadapannya sepiring sarapan sudah siap. "Sarapan dulu," kata ibunya. Safir menyendok makanan dengan malas. Ritual pagi semacam itu berlangsung setiap hari.
Bahkan ada pula anak yang melanjutkan tidur di mobil sepanjang perjalanan menuju sekolah. Ia dibangunkan ketika mobil berhenti di depan gerbang sekolah.
Berangkat ke sekolah adalah "fardlu ain". Anak-anak wajib mengikuti Wajib Belajar. Untuk itu, mereka harus dilatih mengerjakan kewajiban, termasuk belajar di sekolah. Adapun mereka berangkat dengan wajah murung, itu soal lain.
Masa depan harus diraih melalui pendidikan. Dan, pendidikan itu bernama sekolah. Yang tidak sekolah sama dengan tidak berpendidikan.
Orangtua mana yang rela anaknya tidak berpendidikan. Anak harus disekolahkan supaya menjadi manusia berpendidikan.
Demi mewujudkan visi serta menjalani misi pendidikan yang mulia, orangtua rela mengerjakan apa saja. Mulai bekerja sehari penuh, berangkat sebelum shubuh lalu pulang hampir tengah malam, hingga membayar biaya pendidikan berapa pun. Semua demi pendidikan anak.
Tugas orangtua adalah bekerja keras, membanting tulang, demi masa depan sang buah hati. Adapun soal menjadikan anak berpendidikan, itu kewajiban dan tugas guru di sekolah. Orangtua tinggal percaya saja pada sekolah.
Guru-guru di sekolah pun tidak mau ketinggalan. Mereka perlu memastikan siswa rajin belajar di rumah. Caranya? Setiap guru mata pelajaran menitipkan Pekerjaan Rumah (PR). Sebab, biasanya, anak tidak mau belajar saat tidak punya PR.
Semua pihak wajib berkontribusi terhadap masa depan anak Indonesia. Kali ini datang dari penerbit buku. Harus dipastikan, sejak di sekolah dasar siswa telah membaca buku pelajaran berkualitas. Ukuran halaman buku dibuat lebar. Isinya pun penuh dengan gambar yang berwarna-warni.
Tidak cukup itu. Buku diktat siswa kelas satu sekolah dasar, tebalnya hampir sebanding dengan buku siswa kelas satu SMA.
Anak usia tujuh tahun memanggul tas ransel berisi buku pelajaran sekolah bisa seberat 5 kg. Hikmahnya, meraih suskes masa depan memang berat. Setidaknya, anak sudah dilatih menanggung beban berat menjalani hidup sejak dini.
Anak-anak tidak boleh cengeng apalagi gampang mengeluh. Perkara anak mengeluh nyeri punggung, sakit kepala dan susah berkonsentrasi, orangtua tinggal menyuapinya dengan gizi dan suplemen yang lebih ampuh.
Yang tidak kalah hebat menyiapkan masa depan siswa adalah makhluk bernama sekolah. Tidak cukup belajar hingga jam satu siang, para stakeholder membuat bermacam-macam program belajar.Â
Akibatnya, jam belajar di sekolah berlangsung hingga sore. Rata-rata siswa pulang pukul 16.00.
Program apa saja? Selain kurikulum inti, siswa belajar kurikulum muatan lokal dan kegiatan ekstra. Sebut saja misalnya, literasi sekolah, pagi religius, penghijauan lingkungan, klub bahasa, kelompok sains. Semua program yang padat berisi itu diberi label pendidikan karakter.
Harapannya, siswa menjadi manusia dengan kepribadian yang "maha sempurna": menolak korupsi, anti narkoba, menjaga kelestarian lingkungan, beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, rajin beribadah, cerdas, kreatif, inovatif, disiplin, pandai mengaji, akhlak terpuji, melek literasi, tidak menyebar berita bohong, cintai persatuan, toleran, nasionalis sejati...
Hebat bukan? Betapa sangat mulia misi dan tujuan yang diusung sekolah di negeri ini. Tidak heran, di kabupaten tempat saya tinggal, SD dan SMP negeri akan menyelenggarakan Madrasah Diniyah (Madin).
Saat tulisan ini dibuat, Dinas Pendidikan Kabupaten tengah membuka lowongan bagi ustadz-ustadzah yang ikhlas mengabdikan dirinya mendidik siswa melalui program madrasah diniyah tersebut.
Demi masa depan siswa, program yang mulia itu jangan kepalang tanggung. Sekalian juga di-launching Madrasah Antikorupsi, Madrasah Sadar Lingkungan, Madrasah Anak Sholih-Sholihah, Madrasah Berkarakter, Madrasah Peduli Fakir Miskin, Madrasah Anti Polusi, Madrasah Gemar Sedekah...
Tidak perlu risau. Ruangan di dalam otak siswa bisa diinstal miliaran gigabyte program kebaikan yang normatif dan teoritis.
Bukankah anak-anak itu tak ubahnya keramik kuno yang harganya sangat-sangat mahal? Kita harus menjaganya. Tangan-tangan yang kotor jangan sampai menjamahnya.
Kalau perlu keramik dimasukkan ruang kaca yang steril. Sebab, kalau sampai jatuh dan berbenturan dengan "kerasnya" kehidupan, ia bisa pecah berantakan.[]
Jagalan 080919
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI