Ibaratnya, kita membuang keris dan pusaka (kesadaran luhur), lalu menukarnya dengan pedang (kekuasaan) dan pisau (kepentingan pasar).
Tanpa kesadaran keris, hijrah kita dipenuh oleh bias-bias pamrih. Bersedekah sambil berharap cepat kaya. Rajin mengerjakan shalat demi menghimpun pahala. Padahal, pahala dan dosa tidak bisa ditukar dengan surga dan neraka.
Ringkasnya, kaya dan berkuasa menjadi cita-cita paling utama.Tema kaya dan berkuasa berlaku pada skala individu hingga institusi sejarah.Â
Saking berkuasanya kita tega menuduh orang lain bid'ah, sesat, kafir. Sedangkan Tuhan Sang Penguasa sudah menyampaikan peringatan, "Yang mau beriman, berimanlah. Yang mau kafir, kafirlah."Â Manusia diberi akal untuk menghitung setiap akibat dari perbuatannya.Â
Sejatinya, hanya Tuhan yang Maha Tahu status ketaatan seseorang kepada-Nya. Yang pasti, tuduhan takfiri hanya akan melukai martabat seseorang. Pada akhirnya ia menjadi kasus kemanusiaan.
Masihkah kita disebut muhajirin, orang yang melakukan hijrah? Sedangkan kepada satu biji kata kita menungganginya untuk meraih tujuan dan kepentingan sesaat?
Bahkan, lebih dari itu, kepentingan tersebut diraih dengan cara menghardik harkat kemanusiaan orang lain.
Lalu, muhajirin yang sejati itu siapa?[]
Jagalan 010919
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H