Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahagia, di Mana Engkau Berada?

30 Agustus 2019   10:28 Diperbarui: 30 Agustus 2019   12:58 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, jangan-jangan, kebahagiaan yang berkelanjutan itu gagasan abstrak. Ia rekaan manusia yang belum mengenal dirinya secara mendalam. Sebenarnya, seberapa tipis jarak antara bahagia dan rasa puas?

Antara Bahagia dan Nrima Ing Pandum
Menurut riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Kota Serang dan Kabupaten Pandeglang, Banten dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Gunung Kidul di Yogyakarta pada 2015 sampai 2017, ditemukan faktor non-ekonomi penyebab kemiskinan.

Mayoritas responden berasumsi bahwa kemiskinan yang mereka terima adalah takdir Tuhan yang tidak bisa ditolak. Perilaku semacam ini lazim disebut sebagai "nrimo" dalam budaya Jawa, demikian perilaku psikologi masyarakat hasil temuan riset.

Takdir Tuhan memang tidak bisa ditolak. Namun, sikap nrimo justru melapangkan kesadaran pelakunya dari tekanan hidup. Ajaran dalam budaya Jawa ini tidak lantas diartikan sebagai sikap pasrah yang total, apalagi fatalisme, menerima takdir Tuhan.

Takdir seseorang hidup miskin sesungguhnya bisa ditawar dan diubah. Keputusan ini "belum final". Apalagi kita hidup di tengah kekayaan alam yang bagaikan cipratan air surga.

Faktor non-ekonomi tidak selalu terkait dengan filosofi hidup manusia Jawa saja. Telah terjadi kecurangan serta ketimpangan distribusi keadilan dan kesejahteraan. Kenyataan ini bukanlah takdir yang harus diterima secara pasrah. Kita tengah berhadapan dengan raksasa kekuasaan yang rakus.

Merobohkan raksasa itu pekerjaan orang besar. Adapun rakyat kecil harus tetap menanak nasi. Mereka menemukan rumus kebahagiaan mereka sendiri. Nrimo adalah bentuk olah kesadaran internal demi bertahan menjalani hidup secara bahagia. Tidak stres dan bentoyong.

Simulasinya sederhana. Kita bekerja dapat upah lima ratus ribu rupiah. Yang tidak nrimo akan menggerutu. Pikirannya berpijak pada harapan upah satu juta rupiah. Akibatnya, uang lima ratus ribu terasa sedikit. Uang satu juta pun tidak di tangan.

Sedangkan yang bersikap nrimo akan berpijak di kaki kenyataan lima ratus ribu rupiah. Ia legowo dan bersyukur. Orang Jawa menyebut nrima ing pandum. Hati jadi lapang, pikiran pun padang. Esok bekerja lagi dengan perasaan bahagia.

Jadi, di manakah letak sumber kebahagiaan berada?
Jagalan 300819

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun