Ini merupakan bentuk tekanan dan ekspektasi yang diakibatkan tingginya tuntutan akademik dari sekolah. Alih-alih melatih logika berbahasa dan berhitung, siswa didorong sekadar bisa baca dan tulis. Hanya itu, lain tidak.
Bila para guru tidak kompeten mengajar logika dasar baca tulis dan berhitung, tidak mengherankan standar kualitas pendidikan berada dalam kategori rendah.Â
Pendidikan yang menjadi ladang menyemai bibit peradaban, rontok sebelum berbuah. Fakta bahwa siswa telah menjadi "anak baik-baik" yang dibuktikan dengan nilai sangat memuaskan di rapor, tiba-tiba menjadi seperti "bukan anak Mama" saat berinteraksi di kehidupan nyata. Delusi sekolah ini patut diwaspadai.
Mengapa hal itu terjadi? Mari dicermati secara seksama. Sekolah menempatkan diri sebagai  problem solver bagi semua masalah yang dihadapi bangsa ini.Â
Korupsi, intoleransi, hoaks, ancaman perpecahan, pengangguran, serta seabrek persoalan yang melilit kehidupan beragama, sosial, ekonomi dan politik. Sekolah diyakini sebagai "Pegadaian" yang menyelesaikan masalah tanpa masalah. Â Â
Yang digadaikan adalah kebebasan siswa untuk menemukan dirinya. Tidak ada kegembiraan saat belajar. Anak kehilangan diri yang otentik.Â
Sebuah harga yang sangat-sangat mahal harus dibayar, mengingat bonus demografi tidak cukup disongsong dengan seperangkat kemampuan teknis semata. Sekolah yang menyelesaikan masalah justru menabung masalah.
Jadi, sekolah yang berada di atas standar itu bagaimana?[]
Jagalan 270819
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H