Rasisme terjadi manakala satu golongan melakukan klaim dirinya lebih unggul, lebih hebat, lebih mulia, lebih beradab dari golongan yang lain.
Ternyata, praktik rasisme bisa lebih luas, bahkan lebih mendasar dari urusan warna kulit. Diskriminasi yang menimpa individu maupun kelompok, mulai diskriminasi sosial hingga genosida merupakan produk dari rasisme. Ia tak ubahnya belati yang menikam jantung kemanusiaan.
Di balik "siapa" pelaku sejarah, kita selalu berhadapan dengan "apa" yang salah. Alih-alih mencermati "apa" yang salah lalu bersama-sama menemukan solusi, yang kita lecehkan adalah "siapa"-nya. Pada konteks ini rasisme gampang terjadi.
Menemukan "apa" yang salah dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara lebih urgen dan mendesak. Adapun kepada "siapa" saja kita sodorkan cinta dan kasih sayang.
Bahkan, misalnya, kepada seorang koruptor kita perlu bersikap secara akurat. Apa yang salah dari koruptor? Mencuri uang rakyat. Siapa pelakunya? Manusia. Pada konteks ini kita tetap menghargai martabatnya sebagai manusia. Kita cintai koruptor dengan cara mengadili dan memberinya hukuman yang seadil-adilnya.
Musuh bersama kita adalah "apa" yang salah, bukan "siapa". Sebab, siapa kita sudah jelas jawabannya. Kita adalah Bangsa Indonesia.[]
Jagalan 210819