Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kendaraan Makin Padat, Anak-anak Makin Tersisih di Kampung Sendiri

20 Agustus 2019   07:53 Diperbarui: 20 Agustus 2019   09:58 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu Dafa (6) bermain sepeda bersama kawan-kawannya di jalan kampung. Sepeda ukuran mini dinaiki secara bergantian. Sesekali mereka berboncengan. Tawa bahagia menghiasi wajah anak-anak.

Keceriaan itu berubah menjadi ketegangan. Sebuah mobil yang melintas, berhenti mendadak sambil menyalakan klakson yang panjang. Seorang laki-laki membuka kaca mobil. Entah apa yang dikatakan oleh pengemudi, wajah anak-anak berubah ketakutan.

Saya terlambat menghampiri anak-anak. Mobil segera berlalu. Anak-anak menuturkan, jalan yang menurun membuat mereka kesulitan mengerem sepeda. Dari arah barat, mobil melintas. Lantaran kaget mobil direm mendadak. Untung, mobil melaju dalam kecepatan pelan.

Di kampung saya, jalan selebar tiga meter itu terasa sempit. Yang lewat bukan hanya motor dan becak. Mobil pribadi dan truk ban dobel kerap melintas di sana.

Zaman saya masih kecil, jalan tanah depan rumah terasa lapang dan lebar. Halaman rumah belum dipaving. Bermain di jalan yang lengang merupakan kenikmatan tersendiri.

Kini, pemandangan zaman masa kecil tidak saya jumpai lagi. Anak-anak yang bermain sepeda harus berjibaku dengan keramaian jalan kampung. Keselamatan mereka pun terancam.

Para pengendara motor lebih "terinspirasi" oleh pembalab Valentino Rossi. Alih-alih mengalah pada pengendara yang masih bocah, mereka seolah tidak peduli jalan yang dilewati banyak anak kecil. Sebagai pengendara saya kuatir kita mengalami krisis kepedulian dan defisit imajinasi.

Motor yang dipacu di atas kecepatan 30 km di jalanan kampung bisa mengancam keselamatan pengendara lain, termasuk anak-anak.

Yang menarik sekaligus bikin geregetan adalah pengendara mobil menyetir layaknya pengendara motor. Nyetir mobil tapi kesadarannya masih menggunakan logika pengendara motor. Parah!

Bulan Juli 2019 Kabupaten Jombang menerima penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai Kabupaten Layak Anak (KPPPA) tingkat Nindya. Bagi jajaran Pemkab Jombang penghargaan ini tentu membanggakan.

"Anak-anak harus menjadi fokus utama pembangunan. Mereka punya hak yang sama untuk hidup dan berkembang secara optimal, merasakan lingkungan yang aman, nyaman, dan bahagia," tutur Menteri KPPPA Yohana Yembise.

Selain menerima pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, anak-anak juga diberi kesempatan untuk mengakses jalan tanpa sikap diskriminatif dari pengendara lain. Terlebih jalan itu adalah jalan di desa atau kampung mereka sendiri.

Lingkungan paling dekat dengan mereka, misalnya, pada skala lokal RT/RW, perlu menjamin hak-hak dasar anak. Salah satunya, anak-anak bisa mengakses jalan di kampung dengan gembira, aman dan nyaman.

Kota Ramah Anak menurut UNICEF Innocenti Reseach Centre adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota.

Namun, mewujudkan Kota Ramah Anak tidak sesederhana itu. Sejak keluar dari pintu rumah mereka langsung berhadapan dengan belantara jalanan yang padat dan ramai. Terlebih pagi hari saat jam berangkat sekolah dan masuk kantor.

Ruang bermain terbuka semakin sempit. Nyaris tidak lagi kita jumpai tanah lapang di kampung-kampung perkotaan. Anak-anak tumpah bermain di jalan.

Egoisme pengendara dewasa merajalela. Barangkali kita memerlukan riset yang serius. Apakah pengendara di jalan telah mengalami penyempitan kesadaran terhadap ruang? Atau bahkan kesadaran ruang telah hilang sama sekali? Akibatnya, seolah-olah di jalan itu hanya ada dia seorang sehingga bebas bergerak ke mana saja.

Menghadapi fakta yang mengerikan itu ruang imajinasi anak seketika amblas. Nyali mereka ciut. Omelan dan cacian kerap diterima anak-anak dari pengendara dewasa. Kekerasan verbal jadi tontonan yang "lumrah".

Bebas mengakses jalan bukan berarti anak dibiarkan melakukan kesalahan, seperti belok seenaknya atau naik sepeda di lajur sebelah kanan. Pendidikan berlalu lintas tetap diberikan. Sekolah dan keluarga memiliki peran membangun kesadaran literasi anak di jalan.

Kenyataannya, egoisme pengendara dewasa dan mandegnya kesadaran literasi seperti "tumbu ketemu tutup". Keduanya menjadi tantangan bagi upaya menghadirkan lingkungan yang aman dan nyaman.

Kabupaten Jombang boleh berbangga hati sebagai Kota Layak Anak. Namun, formalisme dan seremoni semacam itu tidak memiliki makna dan akan menguap aktualisasinya jika Kota Layak Anak berhenti sebatas penghargaan dan kebanggaan.

Sejumlah pertanyaan bisa kita ajukan. Apakah Kabupaten Layak Anak memiliki akar kenyataan hingga Dusun atau Kampung Layak Anak? Difondasi oleh RT/RW Layak Anak? Dirawat oleh Keluarga Layak Anak?

Faktanya, mari simak lagu Iwan Fals, "Mereka Ada di Jalan". Tiang gawang puing-puing/Sisa bangunan yang tergusur/Tanah lapang hanya tinggal cerita/Yang tampak mata hanya para pembual saja.[]

Jagalan 200819

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun