Bangsa Indonesia sudah merdeka. Namun, apakah siswa Indonesia telah mengalami kemerdekaan melalui pendidikan yang membebaskan?
Faktanya, sistem pendidikan nasional masih membelenggu keberagaman talenta siswa dan melindungi kebebasan akademik.Â
Menurut Satryo Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Indonesia mengalami "masifikasi pendidikan". Ini berita yang menggembirakan sekaligus memprihatinkan.
Di tengah "masifikasi pendidikan", sistem pendidikan masih memprioritaskan perbaikan manajemen sekolah dan meningkatkan kesejahteraan guru. Kebutuhan mendasar siswa sebagai individu yang dianugerahi talenta terbengkalai.
Manusia yang memiliki talenta yang unik dan khas dijajah oleh regulasi pendidikan. Standar akademik yang kerap dijadikan acuan prioritas, pelan namun pasti, mengikis kepribadian otentik siswa.Â
Tidak heran, institusi pendidikan tak ubahnya pabrik. Output-nya seragam dan terstandarisasi. Outcome lulusan pun diukur seperti produk hasil olahan pabrik.
Umpama keberagaman potensi seorang siswa diserupakan "ayam", "ikan", "burung", pola pendidikan kita mengacu pada satu standar, yakni "harimau". Para siswa belajar di dalam ruang kelas agar menjadi "harimau". Mereka dididik menjadi "harimau", menggunakan "kurikulum harimau", dinilai secara "harimau".
Akibatnya, potensi mereka sebagai ayam, ikan, burung tidak optimal. Sedangkan jadi harimau pun mereka gagal, sebab mereka memang bukan harimau.
Yang diakui sebagai prestasi adalah ketika semua hewan sukses jadi Raja Hutan. Raja yang menguasai simpul-simpul kekuasan dan kekuatan ekonomi demi menambah deposito kekayaan pribadi.
Begitulah nasib perjalanan hidup siswa saat menempuh pendidikan yang dimotori budaya standarisasi. Personalisasi pendidikan bagaikan pungguk merindukan bulan. Pada akhirnya siswa tidak kenal siapa dirinya, tidak paham apa bakat dan talentanya, tidak mengerti keunikan khas dirinya.Â
Puncaknya, mereka tidak memahami mengapa dirinya dilahirkan ke dunia. Mengapa mereka lahir di Indonesia, tidak di gurun Afrika atau di pedalaman hutan Amazon?
Pluralisme sudah mati sejak anak mengenyam kegiatan belajar di institusi pendidikan. Misalnya, dalam satu kelas terdapat 25 siswa, maka sebanyak itu, atau bisa lebih, beragam potensi yang perlu dipersonalisasi oleh kegiatan belajar.Â
Faktanya, pluralisme potensi personal siswa belum diwadahi oleh atmosfer belajar yang aman untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan minat akademik. Kegiatan semacam ekstrakurikuler di sekolah sekadar pantes-pantesan. Â Â
Bahkan, keunggulan manusia Jawa, manusia Sunda, manusia Batak, manusia Dayak---manusia Nusantara di bumi Indonesia---ditimbun oleh budaya standarisasi akademik. Iwan Pranoto, profesor matematika Institut Teknologi Bandung, menegaskan bahwa budaya standarisasi adalah salah satu kemungkinan terburuk yang harus dihindari.
Kegiatan personalisasi bakat dan minat tidak menjadi dasar pengembangan diri. Ia masih bersifat sekunder, kalau tidak mau dikatakan tersier. Dalam enam atau lima hari belajar di sekolah, hanya satu hari untuk kegiatan "mengenal diri". Yang primer adalah kegiatan akademik terpusat dengan "quality control" yang ketat.
Itulah sejumlah pekerjaan rumah yang terus membayangi kita di tengah Kemerdekaan Bangsa Indonesia ke-74.
"Kita harus mereformasi pemikiran guru-guru kita untuk memberdayakan dan mendorong siswa untuk meningkatkan pemikiran kritis dan menyuarakan pendapat tanpa rasa takut," saran Satryo.
Beberapa hari ini kita menjumpai anak-anak merayakan Hari Kemerdekaan. Wajah mereka ceria. Tawa mereka pecah saat mengikuti "Lomba Agustusan". Terkadang mereka berteriak, "Merdeka!"Â
Namun, mendengar teriakan itu perasaan saya jadi kecut, serasa ada yang mengiris. Apakah mereka telah merasakan kebahagiaan sebagai manusia merdeka yang dihargai keunikan dan potensi dirinya?[]
Jagalan, malam 170819 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H