Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Teriakan "Merdeka!" Anak-anak Itu Mengiris Hati

17 Agustus 2019   01:46 Diperbarui: 17 Agustus 2019   05:31 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak-anak yang bersahabat. (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Puncaknya, mereka tidak memahami mengapa dirinya dilahirkan ke dunia. Mengapa mereka lahir di Indonesia, tidak di gurun Afrika atau di pedalaman hutan Amazon?

Pluralisme sudah mati sejak anak mengenyam kegiatan belajar di institusi pendidikan. Misalnya, dalam satu kelas terdapat 25 siswa, maka sebanyak itu, atau bisa lebih, beragam potensi yang perlu dipersonalisasi oleh kegiatan belajar. 

Faktanya, pluralisme potensi personal siswa belum diwadahi oleh atmosfer belajar yang aman untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan minat akademik. Kegiatan semacam ekstrakurikuler di sekolah sekadar pantes-pantesan.    

Bahkan, keunggulan manusia Jawa, manusia Sunda, manusia Batak, manusia Dayak---manusia Nusantara di bumi Indonesia---ditimbun oleh budaya standarisasi akademik. Iwan Pranoto, profesor matematika Institut Teknologi Bandung, menegaskan bahwa budaya standarisasi adalah salah satu kemungkinan terburuk yang harus dihindari.

Kegiatan personalisasi bakat dan minat tidak menjadi dasar pengembangan diri. Ia masih bersifat sekunder, kalau tidak mau dikatakan tersier. Dalam enam atau lima hari belajar di sekolah, hanya satu hari untuk kegiatan "mengenal diri". Yang primer adalah kegiatan akademik terpusat dengan "quality control" yang ketat.

Itulah sejumlah pekerjaan rumah yang terus membayangi kita di tengah Kemerdekaan Bangsa Indonesia ke-74.

"Kita harus mereformasi pemikiran guru-guru kita untuk memberdayakan dan mendorong siswa untuk meningkatkan pemikiran kritis dan menyuarakan pendapat tanpa rasa takut," saran Satryo.

Beberapa hari ini kita menjumpai anak-anak merayakan Hari Kemerdekaan. Wajah mereka ceria. Tawa mereka pecah saat mengikuti "Lomba Agustusan". Terkadang mereka berteriak, "Merdeka!" 

Namun, mendengar teriakan itu perasaan saya jadi kecut, serasa ada yang mengiris. Apakah mereka telah merasakan kebahagiaan sebagai manusia merdeka yang dihargai keunikan dan potensi dirinya?[]

Jagalan, malam 170819  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun