Bangsa Indonesia sudah merdeka. Namun, apakah siswa Indonesia telah mengalami kemerdekaan melalui pendidikan yang membebaskan?
Faktanya, sistem pendidikan nasional masih membelenggu keberagaman talenta siswa dan melindungi kebebasan akademik.Â
Menurut Satryo Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Indonesia mengalami "masifikasi pendidikan". Ini berita yang menggembirakan sekaligus memprihatinkan.
Di tengah "masifikasi pendidikan", sistem pendidikan masih memprioritaskan perbaikan manajemen sekolah dan meningkatkan kesejahteraan guru. Kebutuhan mendasar siswa sebagai individu yang dianugerahi talenta terbengkalai.
Manusia yang memiliki talenta yang unik dan khas dijajah oleh regulasi pendidikan. Standar akademik yang kerap dijadikan acuan prioritas, pelan namun pasti, mengikis kepribadian otentik siswa.Â
Tidak heran, institusi pendidikan tak ubahnya pabrik. Output-nya seragam dan terstandarisasi. Outcome lulusan pun diukur seperti produk hasil olahan pabrik.
Umpama keberagaman potensi seorang siswa diserupakan "ayam", "ikan", "burung", pola pendidikan kita mengacu pada satu standar, yakni "harimau". Para siswa belajar di dalam ruang kelas agar menjadi "harimau". Mereka dididik menjadi "harimau", menggunakan "kurikulum harimau", dinilai secara "harimau".
Akibatnya, potensi mereka sebagai ayam, ikan, burung tidak optimal. Sedangkan jadi harimau pun mereka gagal, sebab mereka memang bukan harimau.
![Foto: jadiberita.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/17/tarik-tambang-5d56f9da097f367f212943f4.jpg?t=o&v=770)
Yang diakui sebagai prestasi adalah ketika semua hewan sukses jadi Raja Hutan. Raja yang menguasai simpul-simpul kekuasan dan kekuatan ekonomi demi menambah deposito kekayaan pribadi.
Begitulah nasib perjalanan hidup siswa saat menempuh pendidikan yang dimotori budaya standarisasi. Personalisasi pendidikan bagaikan pungguk merindukan bulan. Pada akhirnya siswa tidak kenal siapa dirinya, tidak paham apa bakat dan talentanya, tidak mengerti keunikan khas dirinya.Â