Nalar yang dirangkai dan berhasil ditemukan gatukan unsur-unsurnya akan membentuk sebuah konsep. Berpikir secara konseptual merupakan hasil dari proses menalar: mencermati, meneliti dan merangkai unsur-unsur kenyataan.
Konsep yang berhasil ditemukan siswa, sesederhana apapun bentuknya, dapat digunakan untuk memahami rumus baku ilmu pengetahuan. Namun, alangkah jauh tahap berpikir itu dari kenyataan proses belajar di sekolah.
Yang kita dapati adalah proses belajar yang instan. Guru langsung menjelaskan rumus, lalu siswa mengerjakan soal atau menjawab Lembar Kerja Siswa (LKS). Selesai.
Tidak heran, perilaku anak-anak generasi milenial saat mengendarai motor di jalanan belum mencerminkan apa yang telah mereka pelajari di sekolah. Mereka mengalami krisis menalar.
Apa bahayanya? Rezim post-truth tidak dapat dianggap enteng karena mengapitalisasi emosionalitas informasi dan reproduksinya secara berulang-ulang melalui media sosial tanpa peduli pada fakta dan kebenaran, ungkap Raden Muhammad Mihrabi dalam Milenial dan Ancaman terhadap Demokrasi.
Mereka bukan hanya gagap dan terlunta-lunta memasuki industri 4.0. Lantas, apakah mereka dibiarkan saja menjadi tumbal akibat tidak sanggup menalar, berpikir kreatif dan inovatif, sehingga pada akhirnya harus tersisih dan tersingkir?
Sungguh, pendidikan kita menanggung dosa besar apabila merelakan hal itu benar-benar terjadi.[]
Jagalan, 130819
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H