Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mewaspadai Ilusi "Self-Help" Kebahagiaan

17 Juni 2019   17:58 Diperbarui: 17 Juni 2019   20:17 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang masih misterius dan tampaknya akan selalu misterius adalah bagaimana manusia menemukan kebahagiaan? Mengapa saya, Anda dan kita merasa bahagia, sementara yang lain tidak atau belum bahagia, dan begitu sebaliknya?

Kalau bahagia itu mudah, tentu setiap orang bisa meraihnya kapan dan di manapun--di sini, di sana, kemarin, saat ini dan esok lusa. Tidak ada penderitaan berkepanjangan. Motivator kebahagiaan menganggur. Orang tidak lagi memerlukan rumus dan formula kebahagiaan yang rumit dan berbelit-belit.

Kebahahagiaan selalu menjadi tema yang tak lekang dimakan zaman. Rumus, formula dan self-help kebahagiaan yang ditawarkan sesuai dinamika hidup manusia tak ubahnya seperti mengejar bayangan sendiri--semakin diburu semakin menghindar.

Mengapa berpikir positif dan memiliki tekad yang kuat untuk meraih bahagia kadang berakhir dengan kekecewaan? Sesungguhnya apa yang salah dengan jalan pikiran kita? Ataukah kita belum mengerti benar makhluk bernama kebahagiaan sehingga luput mengenali dan mengakrabinya?

Adalah Derren Brown, seorang ilusionis, mentalis, dan penulis yang menyatakan bahwa sebagai jagoan yang mengejar tujuan dengan bermodalkan kekuatan tekad, kepercayaan diri, dan pikiran positif bagi kebanyakan orang akan membuahkan kekecewaan.

Industri self-help, menurut Brown, mempromosikan perlunya berpikir positif, kekuatan tekad, kepercayaan diri, lalu kita menerimanya tanpa reserve dan sikap waspada. Pola berpikir kita dirasuki formula dan rumus kebahagiaan tanpa kita mengerti sepenuhnya mengapa dan bagaimana formula itu menyeret kita jauh dari tujuan semula.

Brown membuat ilustrasi yang menarik. Bayangkan kita berdiri di tepi sungai, ingin mencapai desa di seberang. Berbekal pikiran postif, tekat kuat dan rasa percaya diri, kita menyeberangi sungai itu. Namun, satu hal yang luput kita perhitungkan. Arus sungai mengalir cukup deras. Kita melawannya dengan tekad kuat, pikiran positif, dan percaya diri.

Kita mungkin berhasil menyeberangi sungai, tapi sudah terseret jauh dari tujuan semula.

Kegagalan terjadi manakala kita tidak berhasil berada di desa yang kita tuju. Padahal di sisi yang lain, arus sungai yang cukup deras bisa merenggut nyawa kita. Tujuan yang kita canangkan merampas kebahagiaan yang semestinya perlu disyukuri karena kita selamat dari arus sungai yang menenggelamkan.

Dari sudut pandang yang lain, Brown menyatakan kekuatan-kekuatan di luar kendali menyeret kita dari jalan yang telah kita pilih. Sebagaimana kuatnya arus sungai, sekuat apapun tenaga yang kita keluarkan, kita tidak mampu melawannya.

Ini pasti bukan anjuran supaya kita menyerah terhadap keadaan. Mengakui faktor kekuatan di luar diri yang tidak sanggup kita kendalikan, lalu legawa, dan berdamai dengannya akan menolong kita dari kekecewaan dan frustasi.

Daripada kita menciptakan gagasan dan semangat palsu bahwa kita sanggup mengendalikan segalanya untuk mencapai tujuan, mengapa kita tidak menggeser sudut pandang ke arah yang realistis dan manusiawi?

Kata orang Jawa ben uripmu gak mbentoyong untuk mengejar ilusi kesuksesan yang kita sangka di sanalah kebahagiaan berada.

Ilusi kesuksesan di zaman ini cukup kita sebut tiga saja: terkenal, berkuasa, dan kaya raya. Bahagia adalah sukses mencapai salah satu atau ketiga-tiganya. Apakah kita akan benar-benar bahagia? Belum tentu karena ketiga ilusi itu tak ubahnya fatamorgana.

"Ketika Anda benar-benar mengikuti pemikiran itu, sungguh menakjubkan betapa banyak benda yang kita miliki dan inginkan hanya untuk membuat orang lain terkesan," ungkap Brown.

Pertanyaannya, apakah orang lain akan terkesan? Kita akan kecewa, dan tidak bahagia, ketika apa yang kita harapkan tidak terpenuhi.

Lantas sebanyak apa penggemar, umat, jamaah yang harus kita kumpulkan supaya diakui sebagai orang terkenal? Setinggi apa kita harus mengumpulkan kekuatan supaya menjadi orang yang sangat berkuasa? Sebanyak apa gudang harta harus kita bangun supaya orang terkesan kita adalah orang sangat-sangat kaya raya?

Selama kita belum berhasil mencapainya tanggung jawab terhadap ilusi tersebut akan menjadi beban. Hidup jadi berat dan mbentoyong.

Kita perlu berpikir jernih bahwa terkenal, berkuasa, dan kaya adalah efek atau akibat dari kerja keras, ketekunan, kejujuran, serta sejumlah sikap pribadi positif lainnya. Sebagaimana kenyang merupakan akibat setelah kita menghabiskan satu piring nasi.

Artinya, kenyang tidak perlu dijadikan tujuan makan, karena ia adalah akibat alamiah setelah makan. Yang perlu kita raih adalah sehat setelah makan.

Jangankan meraih kebahagiaan yang hakiki, urusan makan dan minum saja kita tersesat ke wilayah gawat kolesterol, gula darah, asam urat.[]

Jagalan, 17 Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun