Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Enak dan Tidak Enak: Menemukan Kembali Makna Produktivitas

10 Juni 2019   10:35 Diperbarui: 10 Juni 2019   13:34 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://cellcode.us

Kalau antara bekerja atau istirahat, kreasi atau rekreasi, masuk kerja atau libur kerja, jam kosong atau belajar di kelas adalah dua kubu yang saling bertentangan, maka kita akan lebih mudah memilih istirahat daripada bekerja, rekreasi daripada berkreasi, libur kerja daripada masuk kerja, jam kosong daripada belajar.

Dikotomi pilihan itu tidak jauh berbeda dengan ketika kita disodori sesuatu yang menurut kita enak dan tidak enak. Manusia normal akan memilih yang enak. 

Enak istirahat dibanding kerja. Enak rekreasi ketimbang mikir kreasi. Enak libur kerja daripada masuk kerja. Enak jam kosong ketimbang belajar.

Tidak heran apabila setelah menikmati libur panjang kita enggan untuk beranjak dari situasi enak dan nyaman. Barangkali kita juga dengan mantab dan "ikhlas" mau menerima gaji sepuluh juta per bulan tanpa harus bekerja apapun.

Apa yang kita diskusikan ini mungkin tidak berkaitan langsung dengan produktivitas, kreativitas, loyalitas atau sikap esensial lainnya tentang bagaimana seharusnya hidup dijalani. 

Kita masih terjebak pada hal-hal yang remeh temeh, misalnya bagaimana menata niat, menyusun mindset, menyeimbangkan mental. Kenapa remeh temeh? 

Kita belum tuntas mengurai bundelan-bundelan internal itu sehingga cukup mudah terjebak pada pola pikir dikotomis antara yang enak dengan yang tidak enak.

Produktivitas menjadi narasi tanpa nilai. Atau---jujur saja---produktivitas itu dihasilkan melalui sikap mental yang penuh keterpaksaan. Bekerja rajin saat ditunggu Juragan Besar. Masuk kantor tepat waktu karena ada ancaman regulasi. Berdisiplin demi menyelamatkan diri agar tidak dipindah ke lahan yang "kering".

Pada sisi tertentu semua itu tidak salah dan sah-sah saja. Orang bilang: "Wajar kok bekerja mengharap imbalan." Benar, dan sampai sebatas apa kewajaran itu berlangsung dalam diri kita? Jangan-jangan kita belum memiliki daya survival internal karena masih bergantung pada "rabuk" eksternal.

Agaknya Tuhan mengerti benar tipologi psikologi makhluk bernama manusia. Seandainya tidak ada kewajiban shalat lima waktu mungkin tidak ada inisiatif manusia untuk mengerjakannya. 

Enak-enak ngopi, ngobrol bersama teman, atau lagi leyeh-leyeh sambil menonton televisi disuruh shalat. Mengapa diwajibkan? Haqqul yakin, dan kalau kita jujur sejujur-jujurnya, mengerjakan shalat adalah pekerjaan maha berat. Kalau tidak dipaksa melalui regulasi hukum wajib, kita memilih enak tidak shalat.

Demikian pula dengan kewajiban puasa Ramadhan. Setiap manusia suka makan dan minum. Apalagi teknologi kuliner semakin memanjakan lidah. Lalu datang bulan Ramadhan: sahur pada waktu selera makan sedang berada pada titik paling malas. 

Lalu siang hari yang biasanya halal untuk makan dan minum, terpaksa kita menahan diri. Tuhan sangat memahami mekanisme psikologi hamba-Nya yang suka makan. Pada kadar dan batas tertentu makan dan minum perlu dibatasi. Jadilah puasa Ramadhan ibadah wajib.

Dari sudut pandang ini Tuhan seperti hendak memacu produktivitas manusia---baik melalui metodologi shalat maupun puasa. Produktivitas itu dijawab melalui pertanyaan: apa produk atau output dari shalat dan puasa kita?

Kita tidak bisa memacu produktivitas para pekerja, pegawai, ASN kalau puasa sebatas dipahami sebagai ritual ibadah tahunan tanpa internalisasi nilai, penghayatan rohani dan pemberdayaan sosial. 

Produktivitas adalah akibat dari kesadaran internal batiniah manusia yang menemukan keseimbangan dalam hidupnya. Ibarat buah, ia ditentukan oleh kesehatan akar pohonnya.

Belum lagi kita menjawab pertanyaan: "Kepada siapa kita mengabdikan produktivitas itu? Apakah kita mengabdi kepada kepentingan diri sendiri, kepentingan atasan, kepentingan mesin kapitalisme, atau kepada panggilan yang lebih murni dan tulus bahwa kita telah "berhutang" kepada Tuhan yang telah melimpahkan sangat banyak fasilitas dalam hidup kita?

Bagaimana pula sikap pikiran dan pendirian perspektif kita, misalnya terkait dengan makna denotasi dan konotasi produktivitas? Apakah ia sebangsa makhluk kasat mata yang kehadirannya cukup nyata? Ataukah ia sejenis makhluk tidak kasat mata yang bisa dirasakan kenikmatannya oleh kalbu terdalam kita?

Apakah produktivitas yang kita hasilkan harus selalu sesuai dengan standar parameter kapitalisme? Bagaimana jika ruang lingkup, cakupan, jangkauan, dimensi, lipatan produktivitas ternyata sangat luas dan dalam sebagaimana sisi dimensi kesadaran manusia yang nyaris tanpa batas? 

Ada produktivitas intelektual, produktivitas mental, produktivitas ekonomi, produktivitas rohani, produktivitas nilai manfaat pada sesama, produktivitas barokah---produktivitas sebelah mana yang hendak kita capai?

Saya membayangkan pikiran yang naif dan saya tertawakan sendiri. Pantas saja kita menyambut bulan Ramadhan dengan hati penuh suka cita. Kita memasuki bulan yang dapat digunakan sebagai alibi untuk memasang pembenaran bahwa sesungguhnya kita memang malas bekerja. Badan loyo gara-gara puasa.

Lalu satu bulan berikutnya kita menyiapkan pesta besar Hari Raya. Tumpah ruah menggelombangkan kesenangan. Budaya "enaknya" menjadi panglima. Tidak terasa, tiba-tiba, cuti bersama habis. 

Kita seperti anak kecil yang asik bermain petak umpet dan tiba-tiba dipanggil oleh Ibu disuruh mandi. Kita berangkat mandi sambil menggerutu karena takut dihukum.[]

Trenggalek, 10 Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun