Benar juga. Di setiap acara kumpul bareng yang dihadiri kawan saya itu tidak ada tausiyah dan mauidhoh hasanah. Diupayakan melalui berbagai cara supaya teman-teman yang hadir memiliki keterbukaan untuk berbagi pengalaman, berbagi cerita, berbagi kesan.
Seseorang boleh ahli di bidangnya, namun ia belum tentu ahli di bidang yang lain. Seseorang sangat berpengalaman dalam satu kompetensi tertentu, namun lemah di kompetensi yang lain. Setiap orang belajar dari orang lain. Harapannya, terjalin situasi komunikasi yang akrab. Siapa tahu dari pengalaman orang lain kita memperoleh hikmah dan pencerahan.
Jadi siapa narasumber acaranya? Tidak ada. Setiap mereka yang hadir adalah narasumber sekaligus peserta. Dialognya multi arah. Moderator hanya berfungsi sebagai pengatur lalu lintas pembicaraan.Â
Kalau saya boleh memberinya nama, acara itu bernama ngaji bareng. Ngaji: memproses diri menjadi manusia aji dan bermartabat. Bareng: dilakukan bersama-sama atau berjamaah. Jadi ngaji bareng adalah bersama-sama memproses diri agar menjadi manusia yang memiliki aji dan martabat.
Buka bersama dijadikan wadah dan momentum. Yang primer adalah output dari ngaji bareng itu, yakni sikap saling ngajeni, saling menghargai, saling memuliakan, saling menjaga keamanan dan keselamatan sebagai manusia yang memiliki aji.
Kesadaran Imsak dan Imsak sebagai KesadaranÂ
Yang mempertemukan kita kembali, setelah tercerai berai sekian puluh tahun dalam konteks sesama teman alumni adalah kesadaran bahwa kita adalah manusia.Â
Hanya makhluk manusia yang memerlukan momentum untuk kembali ke awal. Kerinduan kembali ke kampung halaman. Mudik dalam berbagai konteks dan dimensi. Ilmunya terkadung dalam kalimat innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji'un.
Ketika ruang dan waktu menampung kemesraan mudik, maka yang terjadi bukan pertemuan aku pejabat, aku birokrat, aku guru, aku pedagang kaki lima, aku dokter, aku juru parkir.Â
Simbol dan identitas sosial lebur dalam guyub rukun dan paseduluran. Kita rela menanggalkan untuk sementara waktu fungsi sejarah kita masing-masing. Kita letakkan kebesaran dan kemegahan. Toh semua yang kita bangga-banggakan itu fana dan pasti lenyap.
Maka, setiap orang menjalani puasanya masing-masing, menahan diri, melakukan imsak supaya produk perilaku dan kata-katanya mengandung keamanan dan keselamatan bagi orang lain.
 Situasi yang berkebalikan dengan atmosfer komunikasi di media sosial ketika setiap orang merasa bebas dan nyaris tanpa batas menulis dan berkata apa saja. Kalau ada pihak yang tersinggung, itu pasti salah mereka sendiri mengapa jadi orang gampang tersinggung.