Menyikap tagar Indonesia Memanggil Cak Nun (#IndonesiaMemanggilCakNun), seorang teman berseloroh, "Yang memasang tagar jangan-jangan baru nglilir alias baru bangun dari tidur."
Namanya juga berseloroh, konteksnya pasti guyon, walaupun dari sudut pandang yang lain, guyonan tersebut juga menyiratkan keprihatinan sekaligus kepedihan.
Seorang kawan lain yang tak kalah ndlodok, sambil cengengesan, bertanya, "Apa benar Indonesia memanggil Cak Nun? Sejak kapan Indonesia membutuhkan Cak Nun? Atau sejak kapan Cak Nun menjadi bagian dari Indonesia? Sedangkan acara Sinau Bareng di berbagai daerah dan kota, yang tentatif maupun yang rutin, yang dihadiri ribuan orang dan mereka setia duduk lesehan di tanah lapang yang becek dan di bawah guyuran hujan--tidak pernah 'diakui' oleh Indonesia?"
Tidak pernah diakui itu maksudnya Indonesia tidak atau belum menganggap semua itu ada, minimal menjadikan Sinau Bareng sebagai "faktor" bagi eksistensi keberlangsungan Indonesia.
Yang kerap terjadi, Sinau Bareng justru menampung Indonesia. Perspektif Indonesia Bagian Dari Desa Saya, lalu diproyeksikan menjadi kesadaran Indonesia bagian dari jiwa kesadaran saya, Indonesia bagian dari Sinau Bareng bukan "tong kosong nyaring bunyinya."
Menghadapi riuh rendah kebisingan perang tagar itu, anak-anak Maiyah bisa saja mengatakan "laa ubali" alias "aku gak patheken." Ora ngurus. Namun, lihatlah, hati mereka tetap tidak tega kepada Indonesia, meskipun pada konteks yang Iain Indonesia berbuat tega kepada mereka.
Ketidaktegaan mereka kepada Indonesia ditumpahkan pada Sinau Bareng yang berlangsung dalam situasi saling mengamankan dan menyelamatkan tanpa berharap imbalan ucapan "Selamat" dari Indonesia. Tetap menjaga keseimbangan berpikir, mengayomi kebhinekaan, memangku perbedaan, merangkul keragaman, mendamaikan pertengkaran.
Semua upaya itu tidak perlu dibesar-besarkan, digagah-gagahkan, diviral-viralkan karena sejumlah hal yang akan saya sampaikan di paragraf selanjutnya.
Sinau Bareng bahkan secara terus terang "melanggar" dan "menghinakan" diri mereka sendiri. Sungguh, saya tidak mengerti sepenuhnya sikap tersebut. Padahal kita tengah dikepung oleh situasi ketika setiap orang, golongan, kelompok, lembaga bahkan sekadar status di media sosial menampilkan diri sebagai agen penyelamat masa depan bangsa.
Sinau Bareng dan Maiyah malah bersikap seperti kantong bolong: tidak merasa penting dan belum berjasa kepada Indonesia. Apakah sedekah kepada Indonesia selama ini belum mencukupi? Apakah ngaji bareng menata hati menjernihkan pikiran di berbagai pelosok dusun dan belantara kota tidak atau belum merupakan pilihan jalan cinta sehingga Indonesia cuek-cuek saja?
Untung ada Allah dan Rasulullah. Wa ilaa rabbika farghab. Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. Dan kepada Sang Kekasih Muhammad cinta ini tertambat.
"Apakah kita ini orang hebat atau orang biasa?" Mereka menjawab, "Orang biasa."
"Apakah kita ini orang mulia atau orang hina?" Mereka menjawab," Orang hina."
"Apakah kita memilih mendhalimi atau didhalimi?" Mereka menjawab, "Didhalimi."
"Apakah kita memilih ditinggikan atau direndahkan?" Mereka menjawab, "Direndahkan."
"Apakah kita penting atau tidak untuk Indonesia?" Mereka menjawab, "Tidak."
"Apakah kita telah berjasa atau belum berjasa kepada Indonesia?" Mereka menjawab, "Belum berjasa."
"Apakah kita adalah faktor atau bukan bagi Indonesia?" Mereka mejawab, "Bukan faktor bagi Indonesia."
Atas semua ketidakpantasan, kerendahan, kehinaan itu mereka tidak pantas meminta apa-apa kepada Indonesia, karena yang sanggup mereka berikan kepada Indonesia adalah cinta dan pengayoman.
Selebihnya, mari tetap bergembira bersama Indonesia Raya.[]
Jagalan, Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H