Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Politik "Sopo Siro Sopo Ingsun"

24 Februari 2019   23:09 Diperbarui: 25 Februari 2019   08:32 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia yang merasa memiliki kebenaran hanya karena ia melakukan tahap pemahamannya, tidak sadar bahwa ia menuhankan dirinya, meskipun sedebu. - Emha Ainun Nadjib

Tidak pernah saya bayangkan dalam sepenggal hidup saya, akan hadir adegan orang saling menuding, mengomentari, mengklaim, memojokkan, mengadili saudaranya hanya gara-gara doa.

Belum hilang di ingatan kita momentum adegan doa yang "tertukar". Jagat media sosial ribut, bising tidak karuan, seperti anak kecil rebutan mainan. Setiap pihak yang berkepentingan dengan isi doa tersebut menyusun narasi pembenaran. Jurus "pokoknya" dikeluarkan. Pokoknya, itu doa untuk calon pasangan nomor 01. Tidak bisa! Doa tidak bisa direvisi. Pokoknya, itu doa untuk calon pasangan nomor 02.

Kita jadi bertengkar hanya gara-gara doa. Bukan karena doa yang menjadi pemicu pertengkaran, melainkan cara pandang, sikap pandang dan kepentingan pandang terhadap isi doa yang menyebabkan kita gampang disulut oleh situasi eyel-eyelan.

Sudut pandang, cara pandang, jarak pandang hingga kepentingan dan reaksi pandang terhadap doa atau hal apapun yang berbau dukung mendukung calon presiden, ditentukan oleh posisi pandang kita masing-masing.

Pendukung Capres dan Cawapres nomor urut 02 akan sangat serius dan khusyuk mengamini doa munajat yang dibaca oleh Neno Warisman. Keseriusan dan kekhusyukan itu bisa saja dimaknai dan dikaitkan dengan kondisi objektif bangsa Indonesia. Namun, pada tataran  konteks yang lain, hidup bernegara tidak melulu urusan copras-capres. 

Foto: gelora.co
Foto: gelora.co
Peristiwa doa munajat itu bisa dipahami sebagai peristiwa subjektif, di mana orang-orang berkumpul untuk berdoa kepada Tuhan, walaupun ia diberangkatkan demi dan untuk kemaslahatan hidup bersama.

Namun, subjektivitas doa itu direspon secara berbeda oleh kelompok yang mendukung Capres dan Cawapres nomor urut 01. Beberapa respon yang saya catat, di antaranya: mengandaikan pemilihan presiden sebagai perang Badar terlalu berlebihan dan keluar dari konteks yang sebenarnya. Sebagai sesama umat Muslim Tuhan yang disembah sama, yakni Allah Swt. Lantas, apa kaitan Pilpres 2019 dengan "kekhawatiran tidak ada lagi menyembah Allah"?

Hiruk pikuk munajat doa Neno Warisman belum menjadi diskursus perdebatan publik yang mencerdaskan. Masing-masing pihak bersiteguh dengan "maqam" cara pandang dan kepentingan pandang masing-masing. Yang hadir di hadapan kita adalah suara "bising knalpot" dari mereka yang entah sadar atau tidak sedang memperjuangkan atau membela jagoan yang berkontestasi di Pilpres 2019.

Sayangya, kebisingan itu tidak menukik pada diskusi publik yang secara substansial menampilkan urgensi doa, lengkap dengan dimensi, nuansa hingga perspektif yang dilengkapi, misalnya oleh etimologi, terminologi, epistemologi apalagi keseimbangan rasionalitas teologi.

Yang kita saksikan adalah narasi dangkal untuk saling serang dan saling menjatuhkan. Kita diajak berenang-renang di gelombang paling permukaan, karena narasi pembenaran itu tidak diniatkan untuk mengembarai kebenaran. Alih-alih mencakrawalai kebenaran--kita malah diajak merampas "jubah" kebenaran dari Tuhan, lalu mengenakannya sebagai identitas kelompok, ormas, politik, aliran, madzhab, dan golongan di mana kita hidup dan mengejar kepentingan di dalamnya.

Akibatnya, untuk merasa benar dan menyampaikan kebenaran, kita perlu bahkan wajib menyalahkan orang dan pihak yang berseberangan. Untuk berada di kanan, kita menyalahkan pihak kiri. Untuk berada di kiri, kita menyalahkan pihak kanan. Tidak mendukung Jokowi otomatis pasti jadi anak buah Prabowo. Bersimpati kepada Jokowi otomatis menjadi lawan pendukung Prabowo. Kenapa hidup berbangsa dan bernegara jadi begini sumpek dan tegang!

Ketegangan itu menghasilkan sikap lebay, berlebihan dan hilang keseimbangan. Kita tidak peka terhadap sikap empan papan, sawang-sinawang. Yang kita tampilkan di hadapan publik adalah politik tangan mengepal. Yang kita teriakkan adalah politik sopo siro sopo ingsun, dengan nada tinggi dan wajah mendongak. Kanvas perebutan kekuasaan kita dipenuhi oleh goresan garis yang merefleksikan "Aku pemilik kebenaran!"

Pro kontra doa yang "tertukar" dan munajat Neno Warisman mencerminkan kenyataan bahwa menuhankan diri sendiri ternyata mudah menjangkiti siapa saja. Diri ini bisa berarti diri team pemenangan, ormas, kelompok, aliran. Sedangkan Tuhan yang asli terselip di antara skenario gelombang kepentingan untuk meraih laba alias bathi.

Tuhan telah menegaskan, "Kebenaran itu dari Tuhanmu." Gara-gara Pilpres dan doa, kita jadi linglung sendiri saat membedakan "dari" dan "di".[]

Jagalan, 24 Februari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun