Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Santri yang Multifungsi, Bukan "To Be or Not To Be"

5 Februari 2019   14:47 Diperbarui: 5 Februari 2019   15:24 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membincangkan kehidupan santri di pondok pesantren rasanya tidak pernah ada habisnya. Mulai dari cerita serius, mistis, hingga guyonan khas santri selalu mewarnai tema perbincangan yang mengangkat kehidupan santri.

Segudang cerita sekaligus kenangan selama nyantri tidak cukup waktu semalam untuk mengulasnya. Banyak dimensi, lipatan, lapisan dari setiap cerita yang bisa dipandang melalui sudut sosiologi, antropologi, psikologi, atau bahkan sains modern. Pengalaman belajar seorang santri memiliki kelengkapan dan keseimbangan.

Kenangan yang pernah saya alami di antaranya, telinga saya pernah dijewer oleh Mbah Kyai saat setoran kitab kuning gara-gara tidak bisa menerangkan tarkib atau susunan i'rob kalimat yang saya baca. Calon sarjana yang beberapa bulan lagi akan diwisuda telinganya dijewer di depan para tamu yang sedang sowan Mbah Kyai. Anehnya, saya dan seorang teman yang bernasib sama justru merasa lega dengan hukuman itu.

Peristiwa itu memang peristiwa sederhana. Saya memperoleh pengalaman belajar yang langsung merasuk dan sekaligus mengendap---atau semacam kilatan enlightenment yang sulit diucapkan. Tidak tiba-tiba lantas saya pintar baca kitab kuning, meskipun output kompetensi itu bisa saja terjadi. Inti kesadaran dari pengalaman itu adalah saya memiliki anchor yang dapat saya pergunakan kapan saja saat membutuhkannya.

Apakah enlightenment saat proses belajar hanya dimiliki oleh kaum santri? Tentu saja semua orang memiliki kesempatan dan pengalaman yang berbeda. 

Pada konteks cerita ini, santri memiliki pintu yang terbuka, nyaris selama 24 jam, belajar bersama Kyai. Selama sel pori-pori kesadaran berada dalam jaringan yang online alias nyambung dalam satu frekuensi, pengalaman belajar dalam beberapa detik saja akan membuka pintu kesadaran kita secara luas dan utuh.

Santri adalah seorang yang multi fungsi. Ia menjalani tugas dan fungsi sesuai kebutuhan ruang dan waktu: menguras kamar mandi, mengajar di madrasah diniyah, bernyanyi bersama anak-anak TPQ, mewakili Mbah Kyai khotbah Jumat, menjaga keamanan pesantren, nyuwuk teman yang sakit gigi, beradu argumen di majelis bahtsul masail, menulis di majalah, mendesain majalah dinding.

Tidak malu setelah boyong dari pesantren mereka membuka pondok yang dinamakan Daarul Ayyam. Maksudnya rumah ayam, kandang pitik, alis beternak ayam.

Maka, sulit membayangkan seorang santri berpikiran cupet, cekak dan cingkrang. Pembelajaran tentang perbandingan madzhab (muqaranah al-madzahib) misalnya, akan membentangkan cakrawala berpikir. 

Tidak mudah menuduh orang lain bid'ah atau kafir. Tahap belajarnya pun berjenjang. Ambil contoh kitab fiqih, misalnya Safinah dan Taqrib. Lalu meningkat belajar kitab Kasyifatus Saja dan Fathul Qarib. Demikian seterusnya hingga kita fiqih antar madzhab, seperti al-Fiqh 'ala Madzaahibil Arba'ah.

Perangkat keilmuan yang dipelajari tidak terbatas pada bidang kajian fiqih. Didasari oleh penguasaan kaidah bahasa Arab, santri juga mengkaji kitab hadist, tafsir, mantiq, filsafat.

Tidak heran manakala seorang santri menempuh jalan hidup yang berbeda-beda sesuai panggilan nilai kemanfaatan untuk sesama. Mereka tidak pusing oleh kecemasan eksistensial to be or not to be. 

Tidak gentar menghadapi hantu pengangguran. Mereka terlatih untuk berbuat (to do). Tidak gengsi menekuni pekerjaan yang kadang dipandang sebelah mata. Tidak terjebak pada fanatisme profesi yang mengurung potensi diri.

Kalau dipikir-pikir, profesi Kyai zaman dahulu itu apa? Mungkin tidak jelas dan tidak pasti. Bukan tidak memiliki pekerjaan, tapi keterlibatan Kyai zaman dahulu dalam gerakan transformasi sosial benar-benar utuh dan total. 

Nyaris semua problem individual dan sosial bermuara pada Kyai atau Tuan Guru. Mulai dari memberi solusi untuk petani yang sawahnya diserang tikus, pertimbangan waktu yang tepat mengkhitankan anak, mengatasi desa yang dilanda pagebluk hingga mengusir penjajah.

Ringkasnya, santri atau Kyai atau Tuan Guru tidak pusing untuk menjadi apa (to be), karena mereka bekerja apa saja (to do) asalkan bermanfaat untuk sesama manusia. Etos bekerja mereka bersifat distributif, tidak akumulatif.[]

Jombang, 5 Februari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun