Tidak heran manakala seorang santri menempuh jalan hidup yang berbeda-beda sesuai panggilan nilai kemanfaatan untuk sesama. Mereka tidak pusing oleh kecemasan eksistensial to be or not to be.Â
Tidak gentar menghadapi hantu pengangguran. Mereka terlatih untuk berbuat (to do). Tidak gengsi menekuni pekerjaan yang kadang dipandang sebelah mata. Tidak terjebak pada fanatisme profesi yang mengurung potensi diri.
Kalau dipikir-pikir, profesi Kyai zaman dahulu itu apa? Mungkin tidak jelas dan tidak pasti. Bukan tidak memiliki pekerjaan, tapi keterlibatan Kyai zaman dahulu dalam gerakan transformasi sosial benar-benar utuh dan total.Â
Nyaris semua problem individual dan sosial bermuara pada Kyai atau Tuan Guru. Mulai dari memberi solusi untuk petani yang sawahnya diserang tikus, pertimbangan waktu yang tepat mengkhitankan anak, mengatasi desa yang dilanda pagebluk hingga mengusir penjajah.
Ringkasnya, santri atau Kyai atau Tuan Guru tidak pusing untuk menjadi apa (to be), karena mereka bekerja apa saja (to do) asalkan bermanfaat untuk sesama manusia. Etos bekerja mereka bersifat distributif, tidak akumulatif.[]
Jombang, 5 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H