Membincangkan kehidupan santri di pondok pesantren rasanya tidak pernah ada habisnya. Mulai dari cerita serius, mistis, hingga guyonan khas santri selalu mewarnai tema perbincangan yang mengangkat kehidupan santri.
Segudang cerita sekaligus kenangan selama nyantri tidak cukup waktu semalam untuk mengulasnya. Banyak dimensi, lipatan, lapisan dari setiap cerita yang bisa dipandang melalui sudut sosiologi, antropologi, psikologi, atau bahkan sains modern. Pengalaman belajar seorang santri memiliki kelengkapan dan keseimbangan.
Kenangan yang pernah saya alami di antaranya, telinga saya pernah dijewer oleh Mbah Kyai saat setoran kitab kuning gara-gara tidak bisa menerangkan tarkib atau susunan i'rob kalimat yang saya baca. Calon sarjana yang beberapa bulan lagi akan diwisuda telinganya dijewer di depan para tamu yang sedang sowan Mbah Kyai. Anehnya, saya dan seorang teman yang bernasib sama justru merasa lega dengan hukuman itu.
Peristiwa itu memang peristiwa sederhana. Saya memperoleh pengalaman belajar yang langsung merasuk dan sekaligus mengendap---atau semacam kilatan enlightenment yang sulit diucapkan. Tidak tiba-tiba lantas saya pintar baca kitab kuning, meskipun output kompetensi itu bisa saja terjadi. Inti kesadaran dari pengalaman itu adalah saya memiliki anchor yang dapat saya pergunakan kapan saja saat membutuhkannya.
Apakah enlightenment saat proses belajar hanya dimiliki oleh kaum santri? Tentu saja semua orang memiliki kesempatan dan pengalaman yang berbeda.Â
Pada konteks cerita ini, santri memiliki pintu yang terbuka, nyaris selama 24 jam, belajar bersama Kyai. Selama sel pori-pori kesadaran berada dalam jaringan yang online alias nyambung dalam satu frekuensi, pengalaman belajar dalam beberapa detik saja akan membuka pintu kesadaran kita secara luas dan utuh.
Santri adalah seorang yang multi fungsi. Ia menjalani tugas dan fungsi sesuai kebutuhan ruang dan waktu: menguras kamar mandi, mengajar di madrasah diniyah, bernyanyi bersama anak-anak TPQ, mewakili Mbah Kyai khotbah Jumat, menjaga keamanan pesantren, nyuwuk teman yang sakit gigi, beradu argumen di majelis bahtsul masail, menulis di majalah, mendesain majalah dinding.
Tidak malu setelah boyong dari pesantren mereka membuka pondok yang dinamakan Daarul Ayyam. Maksudnya rumah ayam, kandang pitik, alis beternak ayam.
Maka, sulit membayangkan seorang santri berpikiran cupet, cekak dan cingkrang. Pembelajaran tentang perbandingan madzhab (muqaranah al-madzahib) misalnya, akan membentangkan cakrawala berpikir.Â
Tidak mudah menuduh orang lain bid'ah atau kafir. Tahap belajarnya pun berjenjang. Ambil contoh kitab fiqih, misalnya Safinah dan Taqrib. Lalu meningkat belajar kitab Kasyifatus Saja dan Fathul Qarib. Demikian seterusnya hingga kita fiqih antar madzhab, seperti al-Fiqh 'ala Madzaahibil Arba'ah.
Perangkat keilmuan yang dipelajari tidak terbatas pada bidang kajian fiqih. Didasari oleh penguasaan kaidah bahasa Arab, santri juga mengkaji kitab hadist, tafsir, mantiq, filsafat.