Meski berakhir menjadi wacana publik, usulan raperda DPRD Karanganyar JawaTengah agar orang tua tidak memberi nama anak dengan nama kebarat-baratan, menarik untuk didiskusikan. Usulan ini dimasukkan rancangan peraturan daerah (raperda) untuk menjaga pelestarian budaya dan kearifan lokal.
Apakah nama Anda tergolong nama kebarat-baratan, ketimur-timuran atau kearab-araban? Sayangnya, saya sendiri tidak sempat mengajukan request nama kepada bapak saya. Tahu-tahu saya sudah diberi nama kearab-araban yang tercatat di Akte Kelahiran.
Nama saya yang kearab-araban menjadi bagian dari interaksi sosial bersama kawan-kawan saya: Johanes, Rico, Sherly, Marji, Teguh, Samuji, Suwarsih. Bahkan kenangan masa kecil menyisakan nama-nama wadanan yang masih berlaku hingga kini. Saya punya kawan yang diwadani Mat Bendol, Genyong, Cipluk, Sombleh, Cak Min Plecer.
Default nama yang diberikan orangtua sengaja dicustom sendiri oleh kawan-kawan--bukan untuk mengejek atau menghina--melainkan untuk menjalani keakraban persahabatan. Guru mengaji di mushola menasihati, "Jangan memanggil nama teman untuk mengolok-olok. Panggillah namanya dengan panggilan yang baik."
Jadi, apa arti sebuah nama? Sebiji nama memiliki kandungan makna di balik deretan huruf tekstual yang tertulis. Filsafat menyebutnya sebagai etimologi. Sebagaimana sebuah kata dan istilah, nama seseorang juga memiliki makna etimologi. Keyakinan bahwa nama adalah doa merupakan "akar harapan" yang secara etimologis dapat dilacak jejak linguistiknya.
Kita ambil nama belakang saya: Syahid. Di kalangan santri yang memelajari ilmu bahasa Arab, kata Syahid adalah bentukan dari akar kata " Syahadatan". Kalau ditasrif: syahida-yasyhadu-syahaadatan-(fa-huwa) syahid(un).
Makna etimologi "nama" Syahid dengan "kata" Syahid tidak jauh berbeda. Berangkat dari harapan yang dikandung oleh etimologi Syahid, Bapak memasangkan nama itu untuk saya.
Terjadi simplifikasi cara berpikir dengan menggabungkan dua selera bahasa, kendati "makna etimologi" dari nama seseorang diberangkatkan oleh momentum ruang peristiwa tertentu.
Ini bukan soal benar atau salah--selain karena dinamika cara berpikir masyarakat yang terus berevolusi--juga fenomena dekonstruksi kata yang menyebabkan konotasi semakin liar, tengah mengepung kita.
Dewa bukan lagi dewa, karena ia adalah nama grup band. Wali tidak selalu berarti manusia suci kekasih Tuhan, karena lagu Baik-Baik Sayang dinyanyikan Wali Band. Jombang Beriman bukan Jombang yang penuh iman, karena Beriman yang dimaksud adalah Bersih Indah dan Nyaman.
Maka jangan heran, dua kata: sontoloyo dan genderuwo mendadak populer di tahun politik. Genderuwonya sendiri bingung mengapa dirinya sering disebut-sebut oleh manusia yang katanya dikaruniai anugerah tertinggi yaitu akal.
Maka, sontoloyo bukan sontoloyo, genderuwo bukan genderuwo. Mereka adalah imaji di alam pikiran yang kita mainkan semau-mau selera kita. Kata-kata itu, mulai dari kata yang beraroma surga hingga neraka, tidak penting lagi diucapkan sesuai makna dasar dan etimologinya ataukah tidak. Surga bisa berarti neraka, putih adalah hitam, pengecut adalah pahlawan, pejabat dijunjung sebagai pemimpin.
Entah bagaimana asal mulanya: nama seseorang yang menjadi identitas kini berubah jadi personalitas. Dia itu siapa rasanya lebih wah, lebih mewah, lebih masyhur daripada apa dan bagaimana perilakunya.[]
Jombang-Yogya, 12 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H