Manusia-manusia itu atau tepatnya para peserta didik hidup tidak sebagai dirinya, tidak berpijak di tanah dusunnya, tidak berkesadaran sebagai "manusia pantai", "manusia desa", "manusia kecamatan", yang memiliki kekuatan "DNA" khas diri mereka, karena dicetak ke dalam sistem pendidikan asembling untuk memenuhi kebutuhan mesin industri modern.
Hidup di atas titik pertemuan sejumlah lempengan bumi hanya dijadikan bahan rasan-rasan lalu diolah menjadi kabar hoaks: pada hari terakhir bulan Desember 2018 akan terjadi gempa besar dan tsunami dahsyat di seluruh Indonesia. Ironisnya, kabar itu tersebar begitu cepat dan masif.
Pendidikan yang Mencerdaskan dan Menyelamatkan
Yang kita butuhkan adalah merumuskan kembali paradigma pendidikan yang berpihak pada kesadaran etika lingkungan di mana warga sekolah hidup dan beraktivitas. Pendidikan lingkungan sebagai mata pelajaran inti yang disesuaikan dengan kenyataan alam warga setempat, selain mata pelajaran utama yang selama ini telah diajarkan secara Nasional, menunjukkan komitmen pemerintah terhadap sistem pendidikan yang mencerdaskan sekaligus menyelamatkan.
Pendidikan kebencanaan di sekolah dan masyarakat yang disampaikan Jokowi usai meninjau lokasi terdampak tsunami di Kabupaten Lampung Selatan, menerbitkan harapan atas lahirnya pendidikan terpadu yang bukan sekadar mendidik siswa dan masyarakat terkait mitigasi bencana.Â
Bagaimana pun kita perlu memahami watak, karakter, dialektika, getaran alam di mana kita hidup. Pendidikan di sekolah bisa mengambil peran itu. Minimal, kita jujur dan tidak egois saat berinteraksi dengan alam.[]
Jombang, 2 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H