Adalah Abu Nawas tiba-tiba membangunkan para tetangga. Pasalnya, malam itu pencuri menyatroni rumahnya.
"Saya keluar rumah sebentar," cerita Abu Nawas. "Pintu rumah memang tidak saya kunci."
"Kenapa tidak dikunci?"
"Saya pikir kampung kita aman-aman saja," jawab Abu Nawas.
"Mestinya kalau keluar rumah, pintu dikunci biar aman."
"Iya. Mestinya pintu rumah dikunci biar aman."
"Maklum saja, pencuri bisa masuk karena rumah tidak dikunci."
"Kalau keluar rumah pintu dikunci biar aman."
"Seandainya pintu rumah dikunci, pasti peristiwa pencurian tidak akan terjadi!"
Abu Nawas terdiam. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Kenapa kalian menyalahkan saya dan tidak satu pun dari kalian menyalahkan pencuri?" tanya Abu Nawas.
Abu Nawas yang jadi korban pencurian justru dihujani pertanyaan dan ujung-ujungnya disalahkan. Fakta "rumah tidak dikunci" menjadi alasan pembenaran untuk memojokkan Abu Nawas. Sementara para tetangga melewatkan pelaku utama pencurian. Si Pencuri merasa aman. Mata pandang para tetangga yang "buta" sebelah menyelamatkan pencuri dari tuduhan kejahatan mengambil barang milik orang lain.
Pada konteks itu Abu Nawas adalah korban yang mengalami victim blaming. Tak ubahnya nasib para pelapor kekerasan dan pelecehan seksual. Fakta "rumah tidak dikunci" sejajar dengan pernyataan "Seandainya kamu tidak menginap di sana, peristiwa itu tidak akan terjadi", ungkapan seorang pejabat kampus dalam kasus pelecehan seksual Agni. Selalu terdapat celah untuk memojokkan korban, sehingga peristiwa "pencurian kehormatan" adalah kejadian yang wajar---tak ubahnya "Ibarat kucing kalau diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan."
Seakan-akan, kalau pintu rumah sudah dikunci, pintu "Anu" sudah digembok rapat, pencurian rumah dan pelecehan seksual tidak terjadi. Sedangkan pencuri dan pelaku tindak pelecehan seksual tidak kurang akal untuk membobol kehormatan korban melalui berbagai "pintu" yang dirasa aman.
Yang perlu dicermati adalah atmosfer victim blaming yang menguntungkan pelaku. Selagi ketimpangan cara berpikir, cara bersikap dan cara memandang persoalan masih didominasi budaya patriark, pelaku pelecehan seksual akan terus menghirup udara segar. Minimal, tidak dijadikan tersangka utama. Ia tak lebih seperti seekor kucing yang disodori ikan asin.
Persoalannya, kita kerap melihat pelecehan seksual secara tidak seimbang, terbatas pada dominasi laki-laki atas perempuan. Bagaimana jika pelecehan terjadi akibat dominasi perempuan terhadap laki-laki? Fakta bahwa budaya patriark masih mendominasi pola hubungan laki-laki dan perempuan, namun yang sesungguhnya terjadi adalah pelecehan manusia terhadap manusia.
Kita tidak tengah membincangkan patriark dalam ranah personal saja, melainkan mencermati atmosfernya dalam ranah komunal yang lebih luas dan kompleks.
Kasus pelecehan seksual bukan sekadar laki-laki menguasai perempuan melalui berbagai dominasi varian aspek sosial, hukum dan budaya. Setiap kasus yang melanggar martabat dan harga diri manusia---apapun bentuk dan perilakunya---adalah peristiwa pelecehan kemanusiaan. Manusia saling melecehkan sesama manusia---melalui bermacam-macam ekspresi, produk budaya, politik, ekonomi bahkan agama. Pelecehan seksual adalah satu noktah hitam di tengah gelembung besar pelecehan kemanusiaan yang menghardik manusia setiap hari.
Ringkasnya, budaya patriarki tidak hanya memproduksi victim blaming. Sistem sosial patriarki akan dipertahankan sedemikian rupa karena ia menguntungkan satu pihak sebagai pemegang kekuasaan ekonomi, politik, moral hingga spiritual. Keuntungan yang diperoleh bukan hanya dengan melecehkan dan memerkosa perempuan sebagai objek, melainkan merampas kedaulatan martabat dan harga diri manusia yang paling hakiki.
Apa boleh buat. Kita perlu melakukan detoksifikasi atas segala anasir maupun atmosfer patriarkal yang mengepung isi kepala kita. Untuk tidak memerkosa perempuan, mencuri harta milik orang lain atau menghina serta mengancam martabat dan harga diri manusia, apakah kita masih bergantung pada peraturan dan undang-undang? []
Jombang, 2 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H