Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Victim Blaming" dan Mengunci Rapat-rapat Pintu "Anu"

2 Desember 2018   22:44 Diperbarui: 2 Januari 2019   15:13 1486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abu Nawas yang jadi korban pencurian justru dihujani pertanyaan dan ujung-ujungnya disalahkan. Fakta "rumah tidak dikunci" menjadi alasan pembenaran untuk memojokkan Abu Nawas. Sementara para tetangga melewatkan pelaku utama pencurian. Si Pencuri merasa aman. Mata pandang para tetangga yang "buta" sebelah menyelamatkan pencuri dari tuduhan kejahatan mengambil barang milik orang lain.

Pada konteks itu Abu Nawas adalah korban yang mengalami victim blaming. Tak ubahnya nasib para pelapor kekerasan dan pelecehan seksual. Fakta "rumah tidak dikunci" sejajar dengan pernyataan "Seandainya kamu tidak menginap di sana, peristiwa itu tidak akan terjadi", ungkapan seorang pejabat kampus dalam kasus pelecehan seksual Agni. Selalu terdapat celah untuk memojokkan korban, sehingga peristiwa "pencurian kehormatan" adalah kejadian yang wajar---tak ubahnya "Ibarat kucing kalau diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan."

Seakan-akan, kalau pintu rumah sudah dikunci, pintu "Anu" sudah digembok rapat, pencurian rumah dan pelecehan seksual tidak terjadi. Sedangkan pencuri dan pelaku tindak pelecehan seksual tidak kurang akal untuk membobol kehormatan korban melalui berbagai "pintu" yang dirasa aman.

Yang perlu dicermati adalah atmosfer victim blaming yang menguntungkan pelaku. Selagi ketimpangan cara berpikir, cara bersikap dan cara memandang persoalan masih didominasi budaya patriark, pelaku pelecehan seksual akan terus menghirup udara segar. Minimal, tidak dijadikan tersangka utama. Ia tak lebih seperti seekor kucing yang disodori ikan asin.

Persoalannya, kita kerap melihat pelecehan seksual secara tidak seimbang, terbatas pada dominasi laki-laki atas perempuan. Bagaimana jika pelecehan terjadi akibat dominasi perempuan terhadap laki-laki? Fakta bahwa budaya patriark masih mendominasi pola hubungan laki-laki dan perempuan, namun yang sesungguhnya terjadi adalah pelecehan manusia terhadap manusia.

Kita tidak tengah membincangkan patriark dalam ranah personal saja, melainkan mencermati atmosfernya dalam ranah komunal yang lebih luas dan kompleks.

Kasus pelecehan seksual bukan sekadar laki-laki menguasai perempuan melalui berbagai dominasi varian aspek sosial, hukum dan budaya. Setiap kasus yang melanggar martabat dan harga diri manusia---apapun bentuk dan perilakunya---adalah peristiwa pelecehan kemanusiaan. Manusia saling melecehkan sesama manusia---melalui bermacam-macam ekspresi, produk budaya, politik, ekonomi bahkan agama. Pelecehan seksual adalah satu noktah hitam di tengah gelembung besar pelecehan kemanusiaan yang menghardik manusia setiap hari.

Ringkasnya, budaya patriarki tidak hanya memproduksi victim blaming. Sistem sosial patriarki akan dipertahankan sedemikian rupa karena ia menguntungkan satu pihak sebagai pemegang kekuasaan ekonomi, politik, moral hingga spiritual. Keuntungan yang diperoleh bukan hanya dengan melecehkan dan memerkosa perempuan sebagai objek, melainkan merampas kedaulatan martabat dan harga diri manusia yang paling hakiki.

Apa boleh buat. Kita perlu melakukan detoksifikasi atas segala anasir maupun atmosfer patriarkal yang mengepung isi kepala kita. Untuk tidak memerkosa perempuan, mencuri harta milik orang lain atau menghina serta mengancam martabat dan harga diri manusia, apakah kita masih bergantung pada peraturan dan undang-undang? []

Jombang, 2 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun