Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mazhab "Instagrammable" dan Gagap Membaca Diri

5 Maret 2018   18:49 Diperbarui: 6 Maret 2018   19:41 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa minggu terakhir saya membaca sekitar 300-an karya tulis anak-anak muda. Ketiban sampur menjadi juri penilai mengharuskan saya membaca satu persatu karya mereka. Anak-anak muda yang mengikuti kompetisi itu rata-rata berpendidikan tingkat menengah atas hingga perguruan tinggi. Mereka ditantang untuk menulis sesuai tema yang ditentukan penyelenggara.

Bagi penulis kawakan tema itu terkesan ecek-ecek. Tema tidak terlalu berat. Tidak mengusung arus pemikiran yang melangit. Tema yang sesungguhnya dirancang agar nyambung dan aktual bagi jiwa-jiwa yang tengah mencari jati diri.

Anak-anak muda itu dibukakan peluang untuk menuliskan suara atau rupa diri mereka---yang selama ini mungkin tersekap di ruang pengap jiwa, yang melayang-layang di langit batin kesadaran, yang berkejaran bagai bayangan hantu di imajinasi mereka.

Karya mereka sungguh dahsyat. Imajinasinya melesat ke batas cakrawala. Permenungannya menghujam hingga kerak terdalam tanah batin. Refleksinya jernih sebening telaga yang perawan. Semua kenyataan itu membuat saya geleng-geleng kepala. Anak-anak muda kita sungguh tidak boleh diremehkan.

Akhirnya saya tidak sekadar menggelengkan kepala---berkali-kali saya mengelus dada sambil mengusap kedua mata saya yang lelah membaca tulisan mereka. "Tenaga dalam" atau dorongan internal dari dalam kawah kesadaran mereka meletup-letup sehingga karya mereka mengabarkan kenyataan sejarah yang menyedihkan. Mereka gagap membaca, merumuskan dan menuangkan letupan-letupan dari dalam kawah jiwa mereka sendiri.

Awalnya saya menyangka mereka mengalami problem bahasa. Pemasangan tanda baca, misalnya titik, koma, petikan kalimat langsung atau penulisan huruf kapital yang ditulis secara sembrono dan terkesan seenaknya sendiri, bertebaran sejak paragraf pertama hingga akhir.

Siapa tidak pusing membaca teks seperti ini:
Ada ikan bakar dadakan, dan kuliner mantav lainnya yang akan menggoyang lidah .. Soal harga?? Tenang saja, masih terjangkau untuk semua kalangan masyarakat ko .. Yuk ajak keluargamu ..

Atau kita nikmati teks berikut:
Di waduk ini ada wahana bermain anak-anak (renang, dll), bagi kalian yang hoby mendayung bisa juga guyz, waduk ini terbilang cukup luas, pemandangan nan asri sedap dipandang mata, tak kalah menariknya di tempat ini, Anda yang demen banget dengan kuliner khususnya ikan bakar (Nila, Gurame) yang tawar-tawar gitu....banyak disajikan di sini, Warung iwak kali, kampung Gojekan, Anda bisa memilih sesuka selera Anda, selain ikan bakar, asam manis, ikan goreng, sambal daun ubi rambat, tumis cah kangkung, wuiih ciamikkk pasti cucok untuk mengisi perut guyz dikala lapar.

"Mahabenar" sekolah yang mendidik jiwa anak-anak muda yang resah sarat rahasia itu. Pasti itu semua bukan problem mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kita akan gampang menuduh mereka adalah anak-anak yang malas belajar. Di kelas ngobrol dan ramai sendiri. Namun, siapa di antara kita yang rela menampung, menemani dan beriringan berjalan dengan mereka?

Kita tidak hendak menyalahkan sekolah walaupun lembaga pendidikan ini menanggung beban edukasi yang tidak ringan. Pada konteks yang lebih luas, anak-anak muda itu adalah generasi yang kalah dan di-yatimpiatu-kan.

Dalam kaca mata politik mereka adalah pundi-pundi suara yang dikeruk oleh pemuja kekuasaan supaya bisa naik tahta. Dalam pertarungan ekonomi mereka adalah tumbal konsumerisme liberal yang tentakelnya melilit-lilit urat berpikir hingga ke alam mimpi. Dalam ruang pergaulan agama anak-anak muda itu tak ubahnya kambing sembelihan yang lehernya dicancang oleh tali-tali otoritas tekstualisme tafsir linier benar dan salah, pahala dan dosa, mulia dan hina, surga dan neraka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun