Tulisan ini tidak semata-mata merespon peristiwa duka Guru Budi. Duka yang teramat dalam mengiris jantung pendidikan kita. Duka yang diam-diam kita pendam, dan kalau bisa secepat mungkin dilupakan. Duka yang terus berakumulasi menjadi gunung es sehingga kita perlu memersiapkan diri untuk menyongsong letusan demi letusan berikutnya.
Sungguh disayangkan ketika pendidikan menjadi semacam "pabrik" yang mengalirkan limbah polusi---polusi sosial. Kalau pabrik dan perusahaan besar telah meraup untung puluhan miliar dolar setiap tahun setelah konsumen takluk pada platform bikinan mereka, sekolah dijadikan satu-satunya "platform" pendidikan yang menampung ratusan juta anak-anak penghuni masa depan. Pendidikan identik dan diidentikkan dengan sekolah.
Platform media sosial dan platform pendidikan patut diwaspadai sebagai penghasil polusi sosial---yang menurut pakar ekonom Amerika Serikat polusi tersebut melunturkan nilai keadaban, kepercayaan, dan penghormatan pada kebenaran wacana publik. Mereka menyebutnya eksternalitas negatif.
Platform pendidikan kita adalah mesin pencetak manusia, dilengkapi "algoritma" kurikulum, beranda silabus, para guru pekerja serta berlapis-lapis software politik pendidikan tidak kasat mata lainnya. Sekolah sebagai produk dari platform tersebut tak ubahnya alat komunikasi telepon pintar yang diperlakukan sebagai kebutuhan primer.
Di benak setiap warga masyarakat sekolah berkonotasi dengan hukum fardlu 'ain--ia adalah platform pendidikan modern yang setiap anak dihukumi "wajib kuadrat" agar mengenyam dan terlibat dialektika "algoritma" di sana.
Pendidikan kita masih saja asyik mendendangkan isu-isu parsial politis, seperti pengangkatan guru honorer menjadi pegawai negeri. Othak-athik-gatuk kurikulum.
Pendidikan profesi guru yang tidak diberangkatkan dari presisi dan akurasi passion guru itu sendiri. Gerakan literasi sekolah yang hangat-hangat kotoran ayam. Serta sejumlah program "swafoto" seakan-akan wajah pendidikan kita telah bebas dari bopeng-bopeng.
Di tengah semua itu mencari sosok manusia di rimba belantara sekolah sama sulitnya mencari seekor kucing di tengah ribuan massa yang berdemo. Yang kita temukan adalah para birokrat pendidikan, pekerja guru, bahan baku siswa, bumbu-bumbu buku pelajaran, pagar tinggi lingkungan sekolah, standarisasi output dan outcomes lulusan.
Saya jadi teringat tetes "Tak Peduli kepada Manusia" dari Mbah Markesot: "Di antara manusia-manusia selama beratus-ratus bangunan sejarah peradaban, ummat manusia di Zaman Now inilah yang paling tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa mereka serius mengurusi manusia. Kemajuan harta bendanya canggih, pembangunan peralatan fisiknya dahsyat, tetapi sukar menemukan gejala bahwa mereka peduli kepada manusia."
Apakah sistem pendidikan kita peduli kepada manusia? Secara moral dan hukum, pendidikan menanggung beban berat tanggung jawab itu.
Kalau sila pertama Pancasila adalah "sila keimanan", sila kedua adalah "sila pendidikan"---apakah mesin penggiling keimanan dan pendidikan telah menghasilkan "sila persatuan"? Setelah beriman dan berpendidikan apakah kita menjadi lebih bersatu, saling mempersatukan dan semakin tidak tercerai berai oleh sistem algoritma yang kita ciptakan sendiri untuk meraih kepentingan kita masing-masing?
Sejauh yang kita alami hingga hari ini adalah persatuan sesama kepentingan politik, ormas, madzhab, aliran, minimal bersatu dalam ambisi yang sama--lengkap dan kental dengan bias-bias konfirmasi.
Tragedi Guru Budi bukanlah tragedi pendidikan lagi--ia adalah tragedi peradaban yang setelanjang-telanjangnya melucuti harkat kemanusiaan.
Jombang 080918
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H