Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Media Sosial Mewariskan Polusi Sosial, Siapa Bertanggung Jawab?

24 Januari 2018   01:52 Diperbarui: 25 Januari 2018   20:21 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sendiri belum yakin kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Juga belum tahu siapa yang harus menjawabnya. Yang saya tahu, dan kita semua mengalaminya adalah media sosial mewariskan polusi sosial yang cukup mengkhawatirkan.

Kita bisa menulis deretan kasus per kasus---mulai dari bullying, persekusi, hoaks, hingga pembunuhan karakter seseorang. Belum lagi trending berita atau video viral yang nyaris tanpa budaya akurasi dan konfirmasi sumber berita. Semua serba cepat, berlomba menjadi nomor satu, merebut jutaan mata demi monetasi.

Antara fitnah dan fakta, benar dan salah, baik dan buruk melebur-lebur, urap jadi satu, sehingga ketika putih dibilang hitam jebule hijau yang menyamar merah. Ini pasti bukan sekadar akibat dari bias konfirmasi dan sesat logika. Bukan pula karena tali-tali otoritas telah menjerat akal pikiran miliaran manusia yang dikendalikan oleh "seseorang" atau "sesuatu."

Kita seperti tengah dituntun oleh sebuah "kesadaran" yang tidak kasat mata. Bermedia sosial menjadikan kita seperti bukan sewajarnya manusia---entah apa, pokoknya kita teramat mudah mengesampingkan keadaban dan kesantunan. Online disinhibition effect, demikian menurut John Suler---perilaku yang kurang mengekang diri saat berkomunikasi secara online. Bebas sebebas-bebasnya. Anonimitas adalah akibat merasa diri bebas di dunia maya.

Polusi sosial ini tak ubahnya polusi udara, pencemaran air sungai, penumpukan sampah plastik akibat mesin industri yang memproduksi barang demi memenuhi kebutuhan kita. Demikian pula media sosial adalah "pabrik" yang menghubungkan miliaran manusia dalam berbagai konteks kepentingan, yang dampak polusinya adalah mencemari ranah kemaslahatan publik.

Tidak adakah nilai kemanfaatan dan kebaikan yang dihasilkan media sosial? Tentu saja ada, namun apakah hal itu sebanding dengan "dosa" yang diwariskan kepada anak cucu? Sebut saja, misalnya mengapa kita tertarik pada berita dramatis dan buruk ketimbang berita baik? Ketika satu berita baik muncul, publik telah melahap tujuh belas berita buruk.

Di tengah udara sesak yang penuh serbuk tembaga polusi sosial itu Facebook dan perusahaan sejenisnya menangguk untung besar-besaran. Keuntungan perusahaan itu harus dibayar dengan terkikisnya sikap saling percaya di tengah publik. Demi menghasilkan video viral yang berdurasi dua atau tiga menit, kita mentolo makan daging kawan sendiri. 

Beberapa ahli akuntabilitas publik dan sistem media digital "menggugat" algoritma media sosial yang tidak transparan dan sengaja dibuat kabur. Barbara Romzek, Professor of Public Administration and Policy, American University, menyatakan perusahaan-perusahaan itu sudah menjadi luar biasa besar, dengan miliaran pengguna yang menghabiskan waktu berjam-jam sehari di sistem mereka. Bisnis berkembang pesat---tapi tidak adanya transparansi dan akuntabilitas semakin dipahami sebagai sebuah ancaman terhadap masyarakat sipil.

Kita tengah hidup di lingkungan pasar bebas dan libertarian. Panglimanya adalah algoritma yang bekerja selama 24 jam, mengumpulkan informasi personal pengguna media sosial, lalu menjual iklan-iklan yang bersesuaian dengan "warna" kecenderungan informasi personal itu.

Sungai di desa saya pernah mengirim aroma tidak sedap akibat limbah pabrik. Beberapa tahun pabrik menyelesaikan masalah pencemaran dengan upaya ala kadarnya. Warga mengalah dan lama-lama kebal dengan bau-bau tidak sedap.

Dalam konteks pencemaran yang berbeda, apakah perusahaan-perusahaan rintisan yang meraup keuntungan sangat besar akan ala kadarnya mengatasi polusi sosial? Sedangkan dampak polusi itu langsung menyerang urat saraf cara kita berpikir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun