Di tengah jagongan itu pikiran saya melayang-layang sendiri. Saya diserbu pertanyaan-pertanyaan. Mengapa setiap menjelang tahun baru orang ribut membuat resolusi baru? Apa yang istimewa dengan kebiasaan menyusun resolusi pada setiap akhir tahun itu? Apa nilai substansial satu biji resolusi jika dibandingkan misalnya dengan kesanggupan mengevaluasi diri setiap saat? Sebenarnya yang hendak dicapai itu pencapaian resolusi atau perubahan perilaku? Menyusun resolusi ataukah membentuk perilaku baru?
Saya akan minta tolong kepada kaum behavioris untuk menjawabnya. Apa kata mereka? Menurut behaviorisme, kebiasaan awalnya dimotivasi oleh keluaran atau konsekuensi dari perilaku, seperti makan atau mencari penghidupan. Kebiasaan dipicu oleh isyarat kontekstual. Ia tidak serta merta muncul dengan sendirinya lalu membentuk pola kebiasaan baru secara otomatis.
Yang menarik, kaum behavioris justru "mempertanyakan" efektivitas resolusi tahun baru yang tidak dilandasi oleh pembentukan pola perilaku yang baru. Artinya, apa guna dan efek resolusi itu kalau kebiasaan lama yang kontraproduktif masih menjadi perilaku sehari-hari. Misalnya, Anda memutuskan untuk berhenti merokok tahun ini. Sementara isyarat kontekstual untuk memutus kebiasaan merokok tidak dikelola secara sadar dan efektif. Maka, keinginan berhenti merokok akan menjadi resolusi yang tidak kunjung tercapai.
Menyusun resolusi baru memang mudah, semudah membalik telapak tangan. Namun, membangun perilaku baru yang sejalan dengan visi-misi resolusi bukan pekerjaan mudah. Pernyataan resolusi dan kenyataan perilaku adalah dua fakta yang jauh berbeda.
Bagaimanapun, resolusi hanya tinggal resolusi selama tidak didukung oleh tekad membentuk perilaku baru. Kita tidak akan memiliki perilaku baru selama tidak ada visi-misi yang tertuang pada butir-butir resolusi. Jadi, resolusi adalah semacam panduan arah, dan perilaku baru adalah semacam kendaraan yang mengantarkan kita ke arah tujuan.
Pertanyaannya adalah bagaimana membentuk perilaku baru? Menurut behavioris, perilaku lama bisa diputus dengan membentuk kebiasaan baru melalui perubahan perilaku yang dipandu oleh: Perilaku-Pemicu-Akibat (P-P-A).
Perilaku. Kita menetapkan apa yang ingin kita ubah, misalnya dari malas menulis menjadi rajin menulis. Menyatakan dan mendeskripsikan perilaku baru secara jelas, detail, dan terukur sangat disarankan. Misalnya, "Setiap hari saya akan menulis dua halaman kertas A4 selama satu jam selesai shalat Shubuh." Tidak disarankan untuk menggunakan kalimat yang normatif dan tidak terukur. Misalnya, "Mulai tahun ini (2018) saya harus semakin rajin menulis."
Pemicu. Kita harus mengerti isyarat kontekstual yang memicu perilaku atau kebiasaan lama. Memahami kondisi ruangan, situasi atau waktu yang mendorong kita malas menulis lalu menggantinya dengan isyarat kontekstual yang mendukung tekad rajin menulis, jauh lebih efektif daripada sekadar mengandalkan semangat yang menggebu.
Kapan kita cenderung merasa malas menulis? Dimana kita merasa susah untuk konsentrasi menulis? Bagaimana situasi mood yang mengajak kita malas menulis? Pemicu itu perlu ditemukan jawaban untuk kondisi yang berlawanan---kondisi di saat kita benar-benar terpacu untuk menulis.
Behavioris memberi saran, untuk membentuk kebiasaan baru, kita perlu memaksimalkan pemicu dan isyarat yang mengarah ke perilaku yang diinginkan dan menghindari pemicu untuk perilaku yang kurang diinginkan.
Akibat. Dua faktor tersebut, menetapkan perilaku baru dan memaksimalkan pemicu, tidak akan berjalan tanpa menyadari akibat dari suatu perilaku. Gampangnya, bila suatu hasil yang menyenangkan mengikuti perilaku yang baru, kemungkinan kita akan mengulanginya.