"Kok oleh-olehnya buku semua?" tanya anak-anak di rumah, usai saya beracara selama tujuh hari di Jakarta. Ini bukan kali pertama saya pulang dari luar kota dengan membawa setumpuk buku. Pertanyaan anak-anak tidak terutama untuk melayangkan protes. Mungkin mereka menyangka saya akan membawa kaos, baju atau sepatu khas kota besar Jakarta.
Saya tersenyum. Tidak perlu saya menjelaskan panjang lebar, karena mereka langsung tenggelam membuka buku-buku baru.
Adegan itu membawa ingatan saya pada bagaimana kabar gerakan literasi di Indonesia. Tangan saya sudah gatal menuliskannya sejak perjalanan di kereta dari Jakarta menuju Jombang. Harapan saya, dan tentu harapan kita semua, gerakan literasi bukan gerakan anget-anget tai ayam.
Bagaimana tidak? Kita tengah dihadapkan pada kenyataan 70% orang dewasa di Jakarta memiliki kemampuan memahami informasi dari tulisan pendek, tapi kesulitan untuk memahami informasi dari tulisan yang lebih panjang dan kompleks.
Sedangkan 86% orang dewasa di Jakarta hanya dapat menyelesaikan persoalan aritmetika yang membutuhkan satu langkah, tapi kesulitan menyelesaikan perhitungan yang membutuhkan beberapa langkah.
Data tersebut disimpulkan dari hasil penilaian PIAAC (The Programme for the International Assessment of Adult Competencies), tes kompetensi sukarela untuk orang dewasa yang berusia 16 tahun ke atas.
Jangan terburu-buru bersikap kecut. Kabar yang cukup menggairahkan adalah Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada 2015 kecenderungan penonton televisi meningkat hingga mencapai 91,5%, sementara pembaca surat kabar hanya 13,1% pada 2015. Persentase terendah sepanjang yang dicatat oleh BPS sejak 1984.
Pada kurun waktu itu masyarakat telah berbondong-bondong, menggabungkan diri ke dalam arus modernitas konsumtivisme tayangan-tayangan televisi---lengkap bersama iklan dan semangat gaya hidup yang ditawarkan. Adapun bagaimana cara menalar, cara bersikap, cara mengambil keputusan, cara memandang masa depan, tayangan televisi adalah soko guru panutan yang utama.
Di tengah kenyataan itu semua---masifnya hegemoni tayangan televisi, rendahnya akses masyarakat untuk mendapatkan buku-buku berkualitas, minimnya fasilitas perpustakaan, mahalnya harga buku, ketatnya formalisme birokrasi pendidikan, amburadulnya etos dan passion guru---gerakan literasi masih saja didefinisikan secara minimalis. Literasi dipahami sebagai kemampuan kognitif untuk membaca dan menulis.
Alih-alih mengurai benang kusut kompleksitas gerakan literasi, baik secara definitif maupun gerakan di lapangan, kita justru terjebak pada pragmatisme pengertian literasi yang linier. Sekolah yang tidak menyediakan waktu khusus sekitar 30 menit bagi siswa untuk membaca buku adalah sekolah yang tidak pro gerakan literasi.
Pertanyaan yang layak diajukan adalah apakah literasi yang selama ini kita mengerti dan pahami sebenarnya sudah kontekstual dan cukup bermanfaat bagi pembangunan sosial masyarakat luas? Akankah gerakan literasi mengambil sisi paling wadah sebatas aktivitas membaca dan menulis? Mengapa inisiatif untuk membangunkan masyarakat dari belaian mimpi tayangan televisi misalnya, tidak diberangkan dan berbasis pada pluralitas masyarakat itu sendiri?
Saya membayangkan ada definisi lokal tentang literasi yang disesuaikan dengan pola kebutuhan masyarakat setempat. Rumusan definisi itu bisa jadi akan berbeda titik tekannya di setiap daerah, sesuai fakta pluralitas masyarakat setempat, walaupun tetap dihidupi oleh roh literasi yang sama.
Definisi pengertian literasi boleh beragam, namun tetap berakar pada gerakan pemberdayaan yang sama, dan tidak boleh dibatasi sekadar gerakan untuk memberantas "buta huruf" dan "buta angka".
Sebenarnya basis gerakan literasi bisa diberangkatkan dari kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sahabat saya di dusun Bajulmati Kab. Malang menggalang gerakan literasi tidak langsung mengampanyekan pentingnya membaca buku. Bagaimana warga dusun dan anak-anak gemar membaca kalau kesadaran orangtua terhadap pendidikan masih sangat rendah.
Sahabat saya lantas merintis sekolah komunitas yang melibatkan warga dusun. Perjuangan itu dimulai dengan mengedukasi warga tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan anak-anak. Kekayaan dan potensi lingkungan yang melimpah di dusun Bajulmati dijadikan laboratorium alam dan ruang kelas yang terbuka.
Dari perjalanan sahabat saya merintis sekolah komunitas khas orang dusun itu, kebutuhan terhadap akses bacaan yang berkualitas akan muncul secara alami. Kehadiran buku-buku berkualitas sebagai salah satu sumber informasi dan ilmu otomatis tumbuh dengan sendirinya. Minat membaca buku tumbuh di kalangan warga---akibat lanjutan setelah sahabat saya sukses mengajak warga dusun dan anak-anak membaca potensi khas alam lingkungan dusun mereka. Â
Bukan hanya itu, gerakan literasi yang berbasis pada kontekstualitas persoalan di masyarakat akan tumbuh secara mengakar. Kampung-kampung di perkotaan yang sungainya dilanda pencemaran akut dapat menjadikan kondisi lingkungan tersebut sebagai isu sentral untuk membangun kesadaran literasi.
Selain sebagai isu sentral untuk menemukan solusi bersama, gerakan literasi yang berangkat dari akar persoalan lokal dapat membangunkan kesadaran individu dan kolektif untuk mengarungi makna kesadaran yang lebih holistik dan universal.
Ringkasnya, pengertian literasi tidak selalu dan tidak harus bersifat minimalis seperti yang selama ini didengung-dengungkan. Definsi yang tidak sumir sehingga tidak mudah disalahartikan.
Pada akhirnya, literasi adalah proses belajar itu sendiri---proses belajar sepanjang masa (life-long learning). Bagaimana wajah literasi 2018? Akankah hadir dengan wajah baru yang lebih ramah? []
Jagalan, 30 Desember 2017Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI