Adegan pertemuan dua kawan yang lama tidak bertemu.
"Piye kabare, Rek?"
"Apik kabare. Dancuk sampeyan iki. Kemana saja selama ini?"
"Asu temen awakmu. Ditelpon ora tau dijawabl!"
Dialog Suroboyoan atau nJombangan itu menawarkan nuansa komunikasi yang kasar. Bagi kalangan ningrat dan terpelajar, dialog itu mencerminkan karakter manusia yang tidak beradab. Padahal misuh, kata-kata umpatan, lok-lokan menjadi bumbu keakraban. Namun, tidak semua kalangan memahaminya sebagai ekspresi budaya.
Misuh dan misuhi itu berbeda. Misuh tidak selalu meneriakkan kata-kata umpatan. Harus dilihat konteks situasi dan latar belakang dialognya. Kalau tukang becak tiba-tiba dipotong jalannya oleh pengendara motor, spontan ia bisa misuh. Macam-macam ekspresi kalimatnya: "Diancuk!", "Matane picek!", "Rumangsane iki dalane mbahe (dia pikir ini jalan kakek-buyutnya)!". Tekanan, intonasi, dan kefasihan nada ekspresinya juga berbeda.
Yang dilarang adalah misuhi pada konteks mencaci atau menghina orang lain. Tata krama dan kode etik pergaulan dimana pun sepakat bahwa mencaci, menghina, merendahkan, mem-bully adalah perbuatan tidak beradab. Tata krama ini tercermin pada Bahasa Jawa Ngoko, Bahasa Jawa Kromo, Bahasa Jawa Kromo Inggil. Setiap ekspresi bahasa itu memiliki unggah-ungguh dan ungkapan misuh verbal dan non-verbal.
Bahasa Jawa tidak sekadar kaya simbol---ia memiliki ragam ungkapan dan ekspresi. Kita mengenal misuh-misuhi, mlorok-mloroki, ngantem-ngantemi, mati-mateni, njotos-njotosi. Deretan kata-kata itu akan sangat panjang, dan ini belum termasuk kosa kata "proses" perjalanan padi menjadi nasi: pari, gabah, beras, mener, sego, upo, karak.
Bahasa Indonesia perlu belajar dan berendah hati kepada bahasa daerah. Kata "membawa" memiliki beberapa diksi dalam Bahasa Jawa: nyangking, nyunggi, nyengkeweng, ngempit, mikul, nengguluk, ngindhit. Diksi jatuh "nyosop" belum ditemukan akurasi nuansa, ekspresi, dan denotasinya dalam bahasa Indonesia.
Bagaimana dengan ndeso? Ini kata tidak bisa dihukumi secara sepihak. Setiap diksi selalu terkait dengan konteks kalimat, nuansa perbincangan, partner dialog, serta sejumlah situasi psikologis-kultural lainnya.
Justru yang perlu dicermati adalah kandungan denotasi-konotasi kata ndeso. Apakah ia mengalami pergeseran konotasi yang ditunggangi oleh muatan negatif? Mengapa mbah buyut kita polos-polos saja berkata: "Maklum, Nak. Kami memang orang ndeso."? Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap konotasi yang liar menimpa sebuah kata? Kalau kita meributkan kata ndeso, yang kita persoalkan denotasi-substantif ataukah konotasi-imajinatif yang sesuka-suka kita memainkannya?