Saya tidak mengklaim organisme bersedekah lebih tulus daripada organisasi sedekah. Namun, di bulan Ramadan kita sering menyaksikan parade sedekah yang kadang over-acting. Organisasi atau lembaga sedekah lebih menonjol dari substansi-rahasia ibadah sedekah itu sendiri. Yang primer adalah image dan branding lembaga. Industri sedekah merebak di taman materialisme.
Baiklah, kita memang harus berlomba dalam kebaikan, fastabiqul khoirot. Namun, dalam konteks ibadah, lembaga sedekah jangan diposisikan dan diperlakukan sebagai hal yang primer. Pengelola lembaga sedekah tak ubahnya pengurus takmir masjid—yang pasti primer adalah shalat berjamaah. Perkara shalat di masjid, mushola, atau di rumah pada kadar dan situasi tertentu orang tidak memerlukan mobilisasi. Pada kesadaran yang hakiki, di mana engkau bersujud, di situ masjid terbangun dalam ruang jiwamu.
Lembaga sedekah ibarat selang air—penghubung antara mereka yang bersedekah dengan orang yang disedekahi. Kesucian dan kebersihan air adalah substansi-kualitatif yang pertama kali harus dipastikan oleh mereka yang bersedekah dan lembaga yang menyalurkannya. Lembaga sedekah jangan berbangga hati ketika misalnya, menyalurkan bantuan untuk seratus masjid dari seorang koruptor. Kita tidak sedang berbagi kemudaratan dengan cara yang Islami.
Khasanah tasawuf melambangkan sedekah dan zakat seperti air susu. Kambing tidak meminum sendiri air susu yang dikeluarnya. Demikian pula lembaga sedekah yang berkembang menjadi industri sedekah—kita harus cermat menata niat dan teliti memilah antara ghayah (tujuan) dan wasilah (sarana), agar tidak meminum jatah air susu milik orang lain. Sayangnya, industri sedekah menggeser dirinya dari wasilah menjadi ghayah.
Alkisah, seorang kaya menyamar jadi pengemis. Ia berjalan-jalan di pasar sambil membawa sekarung penuh berisi uang. Di tengah kerumunan orang di pasar, pengemis pura-pura terpeleset dan jatuh. Uang dari dalam karung berhamburan. Spontan uang itu jadi bancakan orang-orang di pasar. Uang tak tersisa lagi. Pengemis kita menangis sangat keras.
Salah seorang di pasar mengetahui penyamaran itu. Ia bertanya mengapa mau melakukan perbuatan konyol itu? “Aku menangis sejadi-jadinya agar mereka tidak tahu aku sedang bersedekah,” jawab pengemis kaya.
Untung, zaman itu belum ada media sosial, sehingga pengemis tidak memotret aksi tangisnya lalu menulis, “Ikhlas adalah pura-pura menangis untuk menyembunyikan niat yang tulus.” []
menjelang sahur, jagalan 21.06.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H