Sudah jamak para ustadz dan kiai menerangkan bulan Ramadhan adalah kawah candra dimuka—bulan melatih diri agar mengenal batas. Ketika Engkau berpuasa, ungkap seorang Guru, dunia berada di depanmu. Engkau tidak boleh menjamahnya begitu saja hingga maghrib tiba. Yang halal menjadi haram untuk Engkau telan masuk ke dalam dirimu.
Puasa bulan Ramadhan menawarkan dialektika paradoksal: membatasi diri, menyadari batas, namun pada saat itu juga kita tengah mengarungi samudera kebebasan dan menyelam ke dalam diri hingga mendekati kesadaran yang paling otentik.
9 Ramadhan telah berlalu. Pada 1364 H yang lalu, bangsa Indonesia mengambil sikap paling otentik: Proklamasi 17 Agustus 1945. Bukan soal momentum keramat tanggal 17 bulan ke delapan yang melatari keberanian untuk memutuskan merdeka, namun prakondisi yang mengiringi sikap otentik sebagai bangsa, waktu itu, sungguh bukan perkara mudah untuk dilewati.
Di tengah desakan sejumlah pemuda yang berkumpul di belakang laboratorium Bacteriologi & Higiene Genees Kundige Hooge School: ada Chaerul Saleh, Subadio Sastrotomo, Sukarni, dan Adam Malik—mereka mendesak agar Bung Karno segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Tapi Sukarno seperti sedang menimbang takdir. Terus disesak oleh sejumlah pemuda, Wikana diantaranya, tak membuat Si Bung luluh.
Bahkan Wikana sempat melontarkan kalimat ancaman. "Apabila Bung Karno tidak mau mengumumkan kemerdekaan malam ini juga, besok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah," ujar Wikana. Tak kalah sengit Sukarno membalas. "Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu dan sudahi saja nyawa saya malam ini juga. Jangan menunggu besok!”
Demi menimbang takdir Sukarno rela menjadikan dirinya sebagai tumbal bagi cita-cita bangsa dan negara. Dalam khasanah tasawuf, sikap Sukarno adalah refleksi dari sikap fana—ia rela meniadakan dirinya, sekalipun nyawa taruhannya, untuk kepentingan dan tujuan yang lebih besar dan mulia. Perjuangan bangsa dan negara telah manunggal dalam jiwanya, melebur dan menjadi aliran darah. Dengan sikap perjuangan seperti itu, hidup dan matinya dipersembahkan kepada Tuhan.
Didera oleh maraton persiapan kemerdekaan, dinihari 9 Ramadhan, badan Sukarno demam. Mungkin kelelahan. Ia bangkit dari tidurnya pada pukul 09.30. Sakit boleh hadir. Tugas dan tanggung jawab berkompromi dengan si sakit agar sejenak menunda kehadirannya. Sukarno mengumumkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Kemerdekaan—sekaligus kemenangan besar sebaga bangsa yang berdaulat dan bermartabat dari segala bentuk penjajahan. Situasi kesadaran yang beririsan dengan komitmen puasa Ramadhan—manusia tidak sepatutnya menjajah dirinya sendiri, apalagi menjajah orang atau bangsa lain. Pagar kemanusiaan yang adil dan beradab harus ditegakkan.
Siapa yang menegakkan? Adalah negara yang melindungi martabat kehidupan rakyat dari segala bentuk penjajahan dan intervensi yang nranyak pagar kedaulatan. Dinamika dan dialektika itu dicita-citakan secara amat gamblang dan indah melalui sila Pancasila.
Lalu kita menerima kabar Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mendaftarkan sebanyak 1.700 pulau baru Indonesia ke acara lima tahunan Conference on the Standardisation of Geographical Names PBB, Agustus mendatang. Ini semacam membangun atau sekaligus menegakkan pagar kedaulatan itu. 1.700 pulau, dan jumlah itu mungkin akan bertambah. Proses validasi dan verifikasi pembakuan nama pulau masih berlangsung dan ditargetkan selesai bulan ini.
Terlepas dari tumpang tindih peran dan fungsi antara negara dan pemerintah, terdapat ribuan pulau—jika ditilik total sekitar 15.166 pulau berada di pangkuan ibu pertiwi—dari total keseluruhan julukan Indonesia sebagai negeri 17 ribu pulau, menjadi tanggung jawab negara untuk mendirikan pagar kedaulatan itu.