Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Gadis Belia yang Membelah Sikap Publik

31 Mei 2017   00:43 Diperbarui: 31 Mei 2017   01:31 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usia Afi Nihaya dan Zahra Haider tidak terpaut jauh. Pada usia yang cukup belia, keduanya mengunggah tema yang cukup sensitif ke tengah publik melalui media sosial. Afi dan Haider menyedot perhatian penghuni jagad dunia maya. Tulisan “Warisan” hingga kini masih dibicarakan orang dan dibagi lebih ribuan kali.

Beberapa waktu lalu Zahra Haider, sekarang berusia 20-an, gadis asal Pakistan menulis tentang hubungan seksual pra-nikah yang dilakukannya saat masih remaja di Islamabad untuk majalah Vice. Haider yang hijrah ke Kanada bercerita, ia menggunakan kamar hotel untuk aksi petualangannya. Orangtua Haider meledak marah. Beberapa pihak menyatakan orangtua Haider dikuasai kemarahan yang tidak rasional dan melodramatis.

Kisah Haider sudah dibagikan ribuan kali, dan bisa ditebak, memunculkan perdebatan sengit. Beberapa kalangan bahkan menuduh Haider menjatuhkan martabat Pakistan sebagai negara dengan populasi penonton porno tertinggi di dunia. Orang Pakistan selalu berpikiran ngeres dan doyan seks. Tulisan Haider meneguhkan citra itu semua.

Menghadapi Generasi Baru

Afi dan Haider adalah sumbu yang disulut oleh kegelisahan—Afi menyalakan sumbu ledak tentang toleransi dan keberagaman; Haider menyulut kehidupan seksual, yang menurut wartawan Ali Moeen Nawazis, menjadi penghakiman budaya terhadap orang Pakistan.  

Kita sedang berhadapan dengan generasi yang sepenuhnya bukan kontinuasi proses pendidikan, apalagi hasil kerja belajar yang disebut sekolah. Apapun nama mereka—generasi milenial atau apa terserah, faktanya mereka adalah cermin generasi yang dianugerahi kecerdasan dan talenta berpikir yang nyaris berbeda dengan generasi tua sebelumnya. Mereka bukan lagi “warisan” dari proses budaya pendidikan dan politik yang kita sangka akan membentuk sikap dan cara berpikir mereka.

Itu baru satu individu bernama Afi dan Haider. Sedangkan ada beribu-ribu, berjuta-juta Afi dan Haider yang bobot “kenakanalan” dan “keliaran” berpikir mereka memandang problematika hidup tidak lagi text-book, linier, ndlujur—cara berpikir yang entah sengaja atau tidak, disistemisasi dan diwariskan oleh model pendidikan yang mereka jalani.

Alih-alih memahami, merangkul, mengayomi—publik justru terbelah oleh sikap pro dan kontra. Kita sedang hidup di cuaca dikotomis dimana satu biji fakta akan dibelah jadi dua. Beramai-ramai kita akan merajam setiap bagian itu menggunakan pisau analisa yang ditakhayuli oleh hantu kebenaran masing-masing.

Wartawan Nawazis bahkan menulis surat terbuka di Facebook, dan sudah dibagi lebih 6000 kali menyatakan, pengalaman Haider sebagai salah satu orang “elit” Pakistan tidak menunjukkan gambaran sebenarnya tentang perempuan Pakistan lainnya.

Yang menarik, tidak sedikit perempuan Pakistan mendukung Haider. Mereka mengakui Haider telah membuka topik perbincangan yang selama ini dianggap tabu. Kejujuran Haider menuai pujian. Haider membuka “hijab” yang selama ini tertutup: masyarakat selalu rajin melayangkan penyangkalan-penyangkalan.

Kebenaran yang Dikurung

Afi dan Haider merobohkan sekat-sekat berpikir yang diam-diam publik telah menerabasnya. Kita menyebutnya tabu. Namun, bagi generasi seusia Afi dan Haider tabu dan “tabu” itu berbeda. Sensifitas yang menyertai topik yang dianggap tabu menjadi luntur di jari-jari Afi dan Haider. Mereka menulisnya secara terbuka. Pada konteks ini “Warisan” membuka kedok dan tabiat publik yang mudah menyangkal rangkaian fakta yang membelenggu mereka dalam pertengkaran-pertengkaran.

Bumi semakin tua, dan lahirlah bayi-bayi polos dan jujur, meneriakkan tangis tentang kenyataan intoleransi, penindasan, dehumanisasi, ketimpangan, ancaman iklim global, terorisme, AIDS. Kita pun sibuk berdebat, saling menyangkal, saling membenarkan, saling menyalahkan sembari luput mencermati dan menimbang secara akurat dan presisi, mengapa keluguan dan kejujuran generasi Afi dan Haider seperti menelanjangi ketidakbecusan kita menyelenggarakan kehidupan yang adil dan beradab.

Di tengah riuh rendah itu semua, satu hal yang pasti sudah kita lakukan—mengurung Afi dan Haider sebagai kebenaran atau kesalahan final. Saya tidak menggunakan kata “menghakimi”, sebab seorang hakim harus memiliki sikap yang “titis”—seperti ujung jarum—yang menancap di selembar kain keadilan. Dan kita masih jauh dari kesanggupan itu.

Mungkin kita ini seperti linggis—keras, kaku dan berujung tumpul, lalu menggunakannya untuk ngepruk apa yang berbeda dengan kita.

Terlepas dari cuaca yang mengkondisikan kita gampang larut dalam situasi pro dan kontra, kita perlu menggeser atau membenahi mata kamera agar fokus dan adil memandang fakta-fakta. Tulisan “Warisan” Afi dan petualangan seks Haider secara obyketif dimuati oleh beberapa kesalahan dan keteledoran. Namun, itu bukan satu-satunya bahan untuk menghardik.

Kita mengenal personalitas dan identitas, dan terkait dua hal itu “Warisan” memang kabur menampilkannya. Tidak apa. Cakrawala kebenaran masih terbentang luas untuk Afi. Dan apakah kita yakin, generasi di sekitar kita tidak melakukan petualangan serupa Haider?

Mengutuk dan menyangkal memang nikmat, minimal nafsu “marah-marah” terlampiaskan. Lega. Plong. Marem. Puas. Menghadapi generasi Afi dan Haider tidak bisa mengandalkan sikap saling mengutuk dan menyangkal. Mereka adalah anak-anak zaman yang akan menghuni masa depan. Tuhan sengaja menghadirkan mereka untuk menegur dan menakar kualitas rasa kemanusiaan kita. Atau jangan-jangan sebagian rasa kemanusiaan itu telah krowok, dikikis oleh egoisme dan materialisme, yang diam-diam menjadi berhala sesembahan kita?

Ah, semoga tidak. []   

jagalan, 30.05.17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun