Terlepas dari pro kontra udara dalam botol yang memanfaatkan polusi udara untuk mendapat uang, merealisasikan ide dan gagasan solutif merupakan “pekerjaan” yang menghampar di depan mata.
Tidak Mencari Siapa yang Salah
Berpikir solutif, bukan semata berpikir karir dan pekerjaan. Dalam pidato kelulusan dan pemberian gelar doktor honoris causa di bidang hukum dalam upacara kelulusan Harvard ke-366 di Universitas Harvard, pendiri Facebook Mark Zuckerberg, menyampaikan pesan kepada para mahasiswa untuk tidak hanya menciptakan pekerjaan baru, namun menciptakan sebuah tujuan baru.
Tujuan baru—berarti visi dan misi baru memandang masa depan. Saya menangkap visi yang sama antara Zuckerberg dan Michel. Sudahkan orangtua dan para pendidik memilikinya? Mereka harus menyesuaikan cara dan sikap berpikir agar sesuai dengan tantangan zaman dan kebutuhan masa depan. Tidak bergerak dalam satu garis linier gaya berpikir yang memangkas energi kreativitas, inovasi dan keliaran ide siswa.
"Saat Anda tidak memiliki kebebasan untuk mengubah ide anda menjadi sebuah perusahaan bersejarah, kita semua kalah,” ujar Zuckerberg.
Pernyataan Zuckerberg tidak bisa diobyektifisir—setiap orang harus mendirikan perusahaan. Pesan kuncinya adalah bebas berpikir untuk menemukan ide atau gagasan yang akan membantu orang lain keluar dari permasalahan. Kompetensi berpikir yang tidak akan tergantikan oleh robot, mesin atau bahasa pemograman, sebab mereka adalah produk kreatif yang diciptakan untuk menolong orang menyelesaikan masalahnya.
Kita tidak sedang menggugat ketimpangan-ketimpangan—lulusan sarjana melimpah ruah dan semua mengaku susah mencari pekerjaan. Bukan pula mencari siapa yang salah karena setiap orang memiliki kemungkinan berbuat salah dan benar. Yang kita butuhkan saat ini adalah menemukan apa yang salah: model belajar di sekolah, cara berpikir guru dan orangtua, sistem pendidikan, ataukah cara kita memandang masa depan perlu digeser agar menempati presisi dan akurasi yang tepat?
Zuckerberg mengungkapkan, "Ada yang salah dengan sistem kita saat saya dapat meninggalkan ini dan menghasilkan miliaran dollar dalam sepuluh tahun, sedang jutaan murid tak mampu membayar pinjaman (kuliah) mereka, apalagi memulai usaha."
Simulasi atas “kecurigaan” Zuckerberg akan sangat panjang untuk diurai dan ditelusuri. Namun, setidaknya, kita perlu segara menyadari sekolah dan pendidikan tinggi didirikan bukan untuk merampas kedaulatan manusia. Mengkotak-kotak jurusan dan memecah spesialisasi menjadi kamar sempit dan pengap. Sistem pendidikan kita adalah sebuah ruang besar dengan satu pintu masuk yang di dalamnya terdapat kamar-kamar fakultas dan jurusan. Sahabat saya menyebut sebagai kekejaman dehumanisasi yang disamarkan.
Kedaulatan manusia yang saya maksud adalah pendidikan yang memiliki banyak pintu masuk, melalui lorong disiplin keilmuan akademik, lalu setiap lorong bertemu dalam satu ruang besar yang terbuka, tempat bertemunya para akademisi yang lulus menjadi manusia dan mengabdikan ilmunya untuk keseimbangan masa depan manusia.
Sayangnya, kita terlanjur dibelenggu oleh mitos: sekolah yang pintar untuk mendapatkan karir profesi yang cemerlang.[]