Puasa dan mogok makan adalah metodologi untuk mengenal batasan dan alat perjuangan yang dijalani tidak selama bulan Ramadhan, atau dilakukan di tengah tekanan kekuasaan yang menghina martabat kemanusiaan. Ibadah mahdloh puasa memang perlu dan wajib dijalankan. Namun, kesadaran akan batasan tidak hanya berlaku selama Ramadhan saja. Di luar bulan yang diyakini penuh berkah ini sadar akan batasan tetap perlu ditegakkan.
Mogok makan bukan hanya milik hati sunyi para demonstran. Mogok makan adalah alat perjuangan kita semua—juga mereka yang berkuasa—untuk benar-benar mogok tidak makan uang suap, tidak makan uang proyek, tidak makan kayu-kayu gelondongan, tidak makan aspal, tidak makan kandungan bumi sambil melupakan jatah rakyat beserta anak cucu di masa depan.
Kita terlanjur melakukan puasa agar bisa berhari raya—bukan menjalani puasa sebagai rangkaian metodologi pengendalian diri. Usai Ramdahan kita lantas berhari raya—merayakan kembali kebebasan yang dibelenggu selama satu bulan. Yang sedang berkuasa menjalankan strategi agar bisa berhari raya setiap saat. Rakyat melakukan hari raya dengan cara khas mereka: pesta dan belanja makanan meningkat selama bulan puasa. Hingga 1 Syawal tiba adalah puncak hari raya kita semua.
Tidak ada lagi jalan sunyi mogok makan. Tidak ada lagi ketangguhan pengendalian diri. Semua sibuk berhari raya. Dan Tuhan termangu menyaksikan itu semua. []
jagalan 27.05.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H