Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Topeng Tengkorak: Penyamaran yang Telanjang

19 Mei 2017   01:47 Diperbarui: 19 Mei 2017   18:02 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi diri sendiri? Ah, yang benar saja. Nasehat itu perlu dipikir ulang, terutama karena kita tidak pernah benar-benar menampilkan jati diri. Itu pun masih harus diperjelas: apa itu jati diri, siapa diri yang telah men-jati itu? Mengapa jati, satu jenis pohon yang usianya bisa ratusan tahun? Mengapa tidak menggunakan jenis pohon yang lain, misalnya bambu-diri, kelapa-diri, beringin-diri?

Mulai hari ini kita perlu waspada terhadap setiap kata. Bias dan stereotip itu kini bukan hanya menimpa satu dua kelompok yang memperjuangkan cita-cita bersama. Kata per kata telah mengalami salah kaprah, kaprah yang salah, karena akar denotasi satu biji kata tidak penting lagi untuk ditemukan. Yang utama adalah “aku berkata.” Kata-kata sekadar alat. Soal makna dan inti muatan yang dikandung oleh kata secara otomatis mengikuti kemauan “aku yang berkata”.

Peneliti Clayman, JoAnne Wehner menyebutnya bahasa agentik—bahasa yang menunjukkan ke-aku-an. Kurang lebihnya seperti ini: karena aku ada, maka aku ber-kata. Ketika seseorang menyebut kata “makan”, maka hanya ia sendiri yang mengetahui maksudnya atau mungkin juga tidak tahu sama sekali. Bisa berarti “makan” seperti yang disepakati khalayak. Atau bisa pula makan adalah sebuah “entah”, yang jangankan orang lain, si pengucap sendiri tidak tahu maksudnya.

Kita sedang berada dalam situasi psikologi komunikasi massa, dimana setiap orang tidak harus memahami, menyelami, menghayati, menukik hingga ke dasar denotosi. Bahkan yang konotasi pun sudah mblarah dan kehilangan jejak cakrawala konotasinya.

Kita bisa mencermati itu semua melalui “perang” status di media sosial. Setiap pengguna media sosial menulis apa saja, pokonya langsung menulis, seketika itu pula menulis, sesaat setelah dalam hitungan detik ia krenteg menulis. Dan bebas pula—sebebas-bebasnya, apa yang dia tulis cukup mengalami dua tahap perjalanan: ada dorongan menulis, lalu seketika itu jari-jari langsung menulis.

Hanya dua tahap itu. Akal dan hati nyaris tidak pernah dilibatkan. Sistem pencernaan akal dan hati istirahat total. Apalagi setiap detik kita selalu disuguhi trending topic, viral-viral, kejadian aktual, yang semua itu jangan sampai terlewatkan untuk tidak menanggapinya. Mencerna kata, menemukan denotasi, menghayati maka dan nuansa, menyelami dasar budaya yang terkandung dalam setiap kata, rasanya akan membuat kita tertinggal kereta, di tengah hujan deras informasi.

Tidak heran kalau kita membaca status di media sosial itu penuh warna cahaya sekaligus penuh kegelapan. Bijaksana tapi mengecam yang tidak bijaksana. Sarat nasehat tapi menyakiti perasaan orang lain. Logis tapi menerjang nalar berpikir. Bhineka Tunggal Ika tapi memecah belah.

Media sosial menjadi—maaf— seperti bak sampah, dimana setiap orang membuang apa saja yang akan segera busuk. Bahasa agentik yang digunakan ramai-ramai di tengah kerumunan massa itu akan membentuk bahasa komunal, yang menurut Wehner adalah bahasa yang lebih mengedepankan sesuatu dilakukan secara bersamaan, atau "ke-kami-an”.

Bahasa agentik yang digunakan secara semena-mena tak ubahnya topeng tengkorak yang menebar teror ketakutan. Penulis atau siapapun pengguna media sosial biasanya menampilkan foto profil pribadi, foto eksistensi keterlibatan sosial di lingkungannya, foto citra diri di tengah publik—namun, foto-foto hebat itu ditutupi oleh topeng tengkorak: ditutupi oleh status agentik yang menyisakan rasa takut pada orang yang membacanya.

Alangkah seram dan menakutkan—media sosial dipenuhi oleh parade orang yang menggunakan topeng tengkorak. Topeng itu menutupi keindahan wajah dan rupa mereka yang diciptakan Tuhan sebagai ahsanu taqwim,sebaik-baik rupa penampilan. Hingga pada sisi kesadaran yang lain, manusia itu tidak lebih dari rangkaian tulang belulang yang berjalan. Kita memakai topeng untuk menelanjangi diri.

Kalau siswa sekolah di kota Zibo Cina merayakan hari tembakau dengan menutupi wajah mereka dengan topeng tengkorak yang sedang merokok, maksudnya adalah mengingatkan kepada publik akan bahaya merokok. Kalau sekelompok peneliti di University of Montana mengumumkan bahwa mereka telah memecahkan misteri di balik delapan topeng Aztec yang terbuat dari tengkorak prajurit yang kalah perang, atau dari mayat kalangan bangsawan yang mengkhianati kaisar Axayactl, yang berkuasa dari 1468 hingga 1481—pelajaran yang bisa diambil adalah berkhianat kepada raja bisa membahayakan nyawa sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun