Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Blindsight", "Bondo Nekad" dan Rakyat yang Tangguh

5 Mei 2017   16:02 Diperbarui: 6 Mei 2017   14:15 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto; http://sorendreier.com/

Zaman saya kecil, ketika kenduren atau slametan di langgar (mushola) adalah kemewahan menyantap telur atau daging ayam, momen istimewa itu masih melekat hingga sekarang. Kami duduk melingkar. Tumpeng digelar di tengah. Tidak perlu rebutan menu istimewa—seorang yang dituakan sigap membagi nasi dan daging ayam.

Diantara para peserta slametan itu, hadir seorang bernama Gembong. Huruf “e” pada nama itu dibaca dengan tingkat kemiringan serupa kata “sate”. Jadi, dia bukan “Gembong” narkoba, atau sejenis konotatif lainnya yang berarti penjahat, perusuh, tukang tadah.

Gembong ini matanya buta. Acara murak tumpeng selalu menjadi ajang keakraban kami. Terlalu semangat menyantap daging ayam, tenggorokan Gembong kesereten. Spontan teman-teman menyodorkan minuman, yang tak lain adalah banyu kobokan—air di baskom bekas cuci tangan setelah makan.

Ia tidak segera menerima kobokan yang disodorkan kepadanya. Gembong malah berkata: “Mosok saya disuruh minum banyu kobokan!” Tetawa kami meledak. Apakah Gembong bisa melihat? Tidak. Ia memang buta dan tidak sedang pura-pura buta.

Gembong yang bisa “melihat” banyu kobokan saya pikir adalah kebetulan semata. Saya membayangkan di balik kedua bola mata Gembong, pasti hitam pekat yang dilihat. Tapi, dari mana, dengan cara melihat bagaimana, Gembong mengetahui air yang disodorkan adalah air bekas cuci tangan?

Blindsight yang Bisa Melihat

Mengenang cerita zaman kecil bersama Gembong, mengingatkan saya pada sosok Milina Cunning. Perempuan yang kehilangan penglihatannya pada usia 20-an. Cunning mengalami koma selama 52 hari. Bangun dari koma, ia hanya menatap hitam pekat. Tidak ada warna apapun selain hitam dan gelap. Koma dan stroke menyebabkan Cunning kehilangan penglihatannya.

Orang dekat menganggap Cunning sedang mengigau ketika ia menyampaikan dirinya bisa “melihat” warna-warni. Adalah Professor Gordon Dutton, ahli saraf, yang tertarik dengan “igauan” Cunning. Dutton menyatakan Cunning memiliki blindsight.

Apakah Gembong juga mengalami blindsight? Saya tidak tahu persis. Namun, Professor Gordon Dutton memiliki saran berharga, bukan hanya untuk Cunning, tetapi saran tersebut patut untuk kita simak—mengingat beberapa jenis pekerjaan dan aktivitas, dalam kondisi dan situasi tertentu, kadang bisa kita selesaikan secara “blindsight”.  

Dutton meminta Cunning agar berjalan melewati beberapa kursi yang diletakkan di koridor rumah sakit. Cunning berjalan dengan kecepatan normal. Beberapa kali ia menabrak kursi. Di ujung koridor, Dutton memberi saran: “Sekarang, cobalah berjalan lebih cepat melalui koridor!"

Apa yang terjadi? Cunning menuturkan, "Jadi saya berjalan lebih cepat dan saya melaluinya, satu demi satu, dan saya tidak terbentur oleh apapun. Itu sangat luar biasa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun