Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dusun Bajulmati dan Pendidikan yang Bukan Ala Laskar Pelangi

25 April 2017   11:07 Diperbarui: 25 April 2017   20:00 1218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu tulisan "kesadaran" tentang pentingnya menjaga keseimbangan lingkunga. Tulisan ini berada di salah satu sudut pintu TK Harapan Goa Cina. (Foto: Dok. Pribadi)

Kang Izar bukan akademisi, bukan ahli pendidikan, bukan profesor kampus. Namun, ide dan gagasan mengedukasi warga dusun benar-benar mengakar. Solusi dari setiap tantangan diberangkatkan dari kenyataan alam berpikir warga dan keunggulan potensi alam dusun Bajulmati.

Pada tahun 90-an di tengah perjuangan mengedukasi warga, istilah pendidikan komunitas sama sekali belum terdengar gagasannya. Di Bajulmati warga bergotong royong menyelenggarakan pendidikan—dari mereka, oleh mereka, untuk mereka.

“Saya tidak paham konsep pendidikan komunitas. Yang saya kerjakan bersama warga dusun adalah mengupayakan anak-anak bisa belajar. Potensi dusun Bajulmati adalah ruang belajar yang bisa diakses anak-anak kapan dan dimanapun,” ungkap Kang Izar.

Aksi nyata, sekecil apapun aksi itu, menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan tidak bisa diabaikan. Menanam bakau bukan hanya bermanfaat bagi kelansgungan hidup biota di sekitar muara, tetapi manfaat jangka panjangnya akan dirasakan oleh anak cucu. (Foto: Dok, Pribadi)
Aksi nyata, sekecil apapun aksi itu, menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan tidak bisa diabaikan. Menanam bakau bukan hanya bermanfaat bagi kelansgungan hidup biota di sekitar muara, tetapi manfaat jangka panjangnya akan dirasakan oleh anak cucu. (Foto: Dok, Pribadi)
Maka, pendidikan (komunitas) dusun Bajulmati adalah khas Bajulmati—yang diselenggarakan sesuai potensi khas dusun mereka. Orang menyebut keunggulan dan kearifan lokal. Terkait hal ini saya pernah protes keras ketika sebuah media cetak menulis besar-besar sebuah judul yang kurang lebih berbunyi: “Inilah Pendidikan Bajulmati, Pendidikan Ala Laskar Pelangi.”

Mengapa ala Laskar Pelangi? Pendidikan di Bajulmati ya ala Bajulmati. Adapun terdapat persamaan atau irisan-irisan pemberdayaan pendidikan antara Bajulmati dan Laskar Pelangi itu wajar. Namun, setiap dusun, setiap desa, setiap komunitas memiliki ciri khas ala mereka masing-masing.

Kang Izar, Mahbub Junaidi, Cak Sriyanto bersama kawan-kawan pengabdi lainnya tidak seketika menemukan keunggulan khas model dusun mereka. Perjuangan mereka tidak instan. Hingga sekarang kawan-kawan pengabdi di Bajulmati sedang dan terus berjuang  mempertahankan pondasi kebudayaan dusun mereka agar tidak keropos. Apalagi tantangan yang menyerbu semakin kuat, seiring dibukanya jalur lintas selatan dari pantai Sendangbiru menuju Balekambang.

Modernisme dan kapitalisme pasti akan dan sedang mengepung dusun Bajulmati. Sebagian dari para wisatawan yang menikmati keindahan pantai dan laut selatan tidak semuanya sadar lingkungan. Problem kebersihan sampah, kelestarian lingkungan, hingga kapitalisme pariwisata merupakan benih ancaman sekaligus potensi yang harus dikelola secara akurat dan bijaksana.

Di tengah kegiatan pariwisata yang mulai menggeliat di pesisir selatan Kab. Malang, Kang Izar setia meniti jalan sunyi, mendengar jeritan alam, istikomah menjalani ngaji urip. Menggali dan mengaktualisasikan kearifan dusun Bajulmati. Pohon bisa hidup tanpa manusia, tapi manusia tidak bisa hidup tanpa pepohonan.

Susur sungai dan menanam bakau di sepanjang bibir sungai bukan kegiatan romantisme lingkungan dan sosial. Pak Izar bukan agen pariwisata, bukan petugas dari dinas lingkungan hidup, bukan calon Bupati atau Gubernur yang sedang melakukan pencitraan.

Bersama para pengabdi lain di gang-gang kumuh perkotaan, di pelosok ketiak bumi Nusantara, di puncak-puncak gunung yang sunyi, mereka seakan terhubung oleh tali cinta yang sama—cinta kepada tanah air, bumi Nusantara.

jagalan 24.04.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun