Lukisan tiga dimensi itu, dan kita tahu itu adalah ilusi, pada detik tertentu tetap saja kita pandang sebagai “balok-balok yang melayang”. Nalar sehat akan memberi peringatan bahaya—menerjang balok-balok itu akan membuat kita celaka.
Bersama kecanggihan gagasan optik, Tuhan menitipkan potensi ilusi yang bisa ditangkap mata. Apa yang kita lihat secara apa adanya ternyata sebuah “tipuan” visual. Atau bisa sebaliknya, apa yang kita sangka tipuan ternyata fakta yang jujur hadir secara apa adanya.
Cara pandang dan sudut pandang ini bisa kita simulasikan untuk menatap fakta peristiwa sehari-hari hingga berita hoax dan kabar viral. Tak ubahnya sebuah foto, mata kita menatap fakta dengan asumsi-asumsi tertentu—fakta pun hadir secara telanjang, dan di saat yang lain ia adalah ilusi yang menipu.
Kaca Mata Pikiran yang Bikin Kecelek
Ketika sedang menatap deretan buku di toko buku, seorang pemuda dengan lengan bertato berdiri di sebelah saya. Pikiran saya segera mengidentifikasi berbagai niat jahat yang akan dilakukan anak ini. Suudhon, kata bahasa agama, atau berperasangka buruk.
Pukul 13.30 WIB. Saya belum shalat dhuhur. Usai membayar di kasir saya langsung menuju masjid jami. Di tempat wudlu terperanjat saya. Pemuda bertato itu keluar dari tempat wudlu. Habis berwudlu rupanya ia. Akhirnya suudhon saya terbongkar. Saya kecelek. Pemuda bertato mengajak saya shalat dhuhur berjamaah. Saya menjadi imam dengan perasaan malu dan beban hati yang berat karena dugaan yang salah terhadap pemuda bertato itu.
Prasangka dan dugaan kerap menghasilkan informasi awal sebelum kita menangkap fakta secara jernih dan objektif. Kita menyebut atau mengaburkannya sebagai asumsi. Pikiran didikte oleh asumsi daripada rasa ingin tahu yang kuat. Bahasa sehari-harinya adalah “kaca mata pikiran” itu tidak sekadar membantu memprediksi pandangan kita terhadap fakta dan realita. Kaca mata pikiran juga mempengaruhi bagaimana kita menerjemahkan fakta, realita atau informasi baru.
Dari mata sebaiknya tidak langsung turun ke hati. Mungkin mampir dulu ke rumah akal, seraya memastikan tidak ada debu-debu asumsi atau prasangka yang menghalangi kejernihan cara pandang. Apa yang kita kerjakan dan ucapkan pun tidak menjadi bias.
Atau sekalian seperti gadis muda demonstran—tanpa kata-kata, tanpa teriakan, tanpa tangan mengepal—menyuarakan keberanian dengan tatapan mata yang menantang lantang.
Di saat yang lain, mata fisik istirah sejenak—seperti Mohammad Mohiedine Anis, yang menurut mata pandangan saya, ia menggunakan keluasan dan kedalaman mati hati—untuk merangkum sunyi peperangan di Aleppo.
Pokonya, hati-hati menggunakan tatapan mata Anda! []