Dari mata turun ke hati. Ungkapan yang klise dan klasik kerap digunakan untuk mengungkapkan getaran cinta. Namun, foto hasil jepretan wartawan Carlos Vera Mancilla, di ibu kota negara Cile, Santiago, menangkap kekuatan dari sebuah tatapan yang berbeda. Polisi anti huru-hara dan demonstran muda itu tidak sedang jatuh cinta. Demonstran muda dengan sorot mata yang tajam menatap polisi—sikap menantang yang lantang “diteriakkan” melalui kedua matanya.
Sedikit berbeda dengan jepretan wartawan foto Carlos Vera Mancilla, baru-baru ini, foto Mohammad Mohiedine Anis, pria berusia 70 tahun, mengisap pipa di kamarnya yang hancur di Aleppo, menjadi viral.
Duduk di tepi tempat tidur dengan menyilangkan kaki sambil mendengar musik di pemutar rekamannya, Abu Omar sekilas terlihat sebagai karikatur introspeksi dalam dunia seni - komposit dari berbagai potret akan subjek yang sedang bernostalgia sambil memegang bagian pipa yang halus, tulis Kelly Grovier.
Gadis muda itu justru terlihat sangat berani berkat sorot matanya yang tajam.
Sorot mata Abu Omar pasti tidak setajam gadis muda itu. Seisi kamar Abu Omar yang berantakan mengalunkan himne sunyi reruntuhan puing-puing akibat perang. Mata kita akan fokus menatap tempat tidur berantakan, sosok lelaki tua, alat pemutar musik, atau pipa rokok di tangannya adalah tahap yang kesekian kali setelah akal kesadaran kita menangkap pesan foto itu.
Ilusi Optik dan Asumsi Pikiran
Semoga kita tidak terlambat untuk menyadari, sekaligus mensyukuri, konsep kerja optik yang didesain Tuhan. Entah Tuhan dapat “ide” dari mana sehingga mekanisme dan sistem optik itu menjadi salah satu panca indera kita. Konsep gagasan pencipataan fungsi mata itu bisa juga berasal dari sifat Tuhan sendiri: Yang Maha Melihat.
Sebenarnya terserah-serah Tuhan juga, Dia menciptakan mata atau tidak pada makhluk-makhluk-Nya. Walaupun kenyataannya hingga hari ini kedua mata kita tetap setia menempel dan berfungsi, tanpa pernah sekalipun sang mata protes atau minta pensiun.
Soal mata lelah atau sejumlah problem penglihatan, itu bukan salah mata. Kita kerap “over-fungsi”, mengajaknya bekerja hingga larut, menatap berbaris-baris teks, atau menthelengi sesuatu yang eman kalau terlewat.
Begitu sangat berperan mata seseorang dalam menjalani hidup, beberapa waktu lalu Kementerian Transportasi India memperlihatkan pemanfaatan muslihat optik dalam lukisan jalur penyeberangan di jalanan India. Dari sudut pengemudi, garis-garis putih zebra crossitu tampak melayang bagaikan balok-balok yang mengapung di udara. Ilusi optik itu diharapkan akan mengecoh pengemudi yang suka kebut-kebutan di jalan raya.
Lukisan tiga dimensi itu, dan kita tahu itu adalah ilusi, pada detik tertentu tetap saja kita pandang sebagai “balok-balok yang melayang”. Nalar sehat akan memberi peringatan bahaya—menerjang balok-balok itu akan membuat kita celaka.
Bersama kecanggihan gagasan optik, Tuhan menitipkan potensi ilusi yang bisa ditangkap mata. Apa yang kita lihat secara apa adanya ternyata sebuah “tipuan” visual. Atau bisa sebaliknya, apa yang kita sangka tipuan ternyata fakta yang jujur hadir secara apa adanya.
Cara pandang dan sudut pandang ini bisa kita simulasikan untuk menatap fakta peristiwa sehari-hari hingga berita hoax dan kabar viral. Tak ubahnya sebuah foto, mata kita menatap fakta dengan asumsi-asumsi tertentu—fakta pun hadir secara telanjang, dan di saat yang lain ia adalah ilusi yang menipu.
Kaca Mata Pikiran yang Bikin Kecelek
Ketika sedang menatap deretan buku di toko buku, seorang pemuda dengan lengan bertato berdiri di sebelah saya. Pikiran saya segera mengidentifikasi berbagai niat jahat yang akan dilakukan anak ini. Suudhon, kata bahasa agama, atau berperasangka buruk.
Pukul 13.30 WIB. Saya belum shalat dhuhur. Usai membayar di kasir saya langsung menuju masjid jami. Di tempat wudlu terperanjat saya. Pemuda bertato itu keluar dari tempat wudlu. Habis berwudlu rupanya ia. Akhirnya suudhon saya terbongkar. Saya kecelek. Pemuda bertato mengajak saya shalat dhuhur berjamaah. Saya menjadi imam dengan perasaan malu dan beban hati yang berat karena dugaan yang salah terhadap pemuda bertato itu.
Prasangka dan dugaan kerap menghasilkan informasi awal sebelum kita menangkap fakta secara jernih dan objektif. Kita menyebut atau mengaburkannya sebagai asumsi. Pikiran didikte oleh asumsi daripada rasa ingin tahu yang kuat. Bahasa sehari-harinya adalah “kaca mata pikiran” itu tidak sekadar membantu memprediksi pandangan kita terhadap fakta dan realita. Kaca mata pikiran juga mempengaruhi bagaimana kita menerjemahkan fakta, realita atau informasi baru.
Dari mata sebaiknya tidak langsung turun ke hati. Mungkin mampir dulu ke rumah akal, seraya memastikan tidak ada debu-debu asumsi atau prasangka yang menghalangi kejernihan cara pandang. Apa yang kita kerjakan dan ucapkan pun tidak menjadi bias.
Atau sekalian seperti gadis muda demonstran—tanpa kata-kata, tanpa teriakan, tanpa tangan mengepal—menyuarakan keberanian dengan tatapan mata yang menantang lantang.
Di saat yang lain, mata fisik istirah sejenak—seperti Mohammad Mohiedine Anis, yang menurut mata pandangan saya, ia menggunakan keluasan dan kedalaman mati hati—untuk merangkum sunyi peperangan di Aleppo.
Pokonya, hati-hati menggunakan tatapan mata Anda! []
jagalan 23.04.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H