Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hati-hati dengan Tatapan Mata Anda!

23 April 2017   20:08 Diperbarui: 24 April 2017   07:00 4720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lukisan tiga dimensi itu, dan kita tahu itu adalah ilusi, pada detik tertentu tetap saja kita pandang sebagai “balok-balok yang melayang”. Nalar sehat akan memberi peringatan bahaya—menerjang balok-balok itu akan membuat kita celaka.

Bersama kecanggihan gagasan optik, Tuhan menitipkan potensi ilusi yang bisa ditangkap mata. Apa yang kita lihat secara apa adanya ternyata sebuah “tipuan” visual. Atau bisa sebaliknya, apa yang kita sangka tipuan ternyata fakta yang jujur hadir secara apa adanya.

Cara pandang dan sudut pandang ini bisa kita simulasikan untuk menatap fakta peristiwa sehari-hari hingga berita hoax dan kabar viral. Tak ubahnya sebuah foto, mata kita menatap fakta dengan asumsi-asumsi tertentu—fakta pun hadir secara telanjang, dan di saat yang lain ia adalah ilusi yang menipu.

Kaca Mata Pikiran yang Bikin Kecelek

Ketika sedang menatap deretan buku di toko buku, seorang pemuda dengan lengan bertato berdiri di sebelah saya. Pikiran saya segera mengidentifikasi berbagai niat jahat yang akan dilakukan anak ini. Suudhon, kata bahasa agama, atau berperasangka buruk.

Pukul 13.30 WIB. Saya belum shalat dhuhur. Usai membayar di kasir saya langsung menuju masjid jami. Di tempat wudlu terperanjat saya. Pemuda bertato itu keluar dari tempat wudlu. Habis berwudlu rupanya ia. Akhirnya suudhon saya terbongkar. Saya kecelek. Pemuda bertato mengajak saya shalat dhuhur berjamaah. Saya menjadi imam dengan perasaan malu dan beban hati yang berat karena dugaan yang salah terhadap pemuda bertato itu.

Prasangka dan dugaan kerap menghasilkan informasi awal sebelum kita menangkap fakta secara jernih dan objektif. Kita menyebut atau mengaburkannya sebagai asumsi. Pikiran didikte oleh asumsi daripada rasa ingin tahu yang kuat. Bahasa sehari-harinya adalah “kaca mata pikiran” itu tidak sekadar membantu memprediksi pandangan kita terhadap fakta dan realita. Kaca mata pikiran juga mempengaruhi bagaimana kita menerjemahkan fakta, realita atau informasi baru.

Dari mata sebaiknya tidak langsung turun ke hati. Mungkin mampir dulu ke rumah akal, seraya memastikan tidak ada debu-debu asumsi atau prasangka yang menghalangi kejernihan cara pandang. Apa yang kita kerjakan dan ucapkan pun tidak menjadi bias.

Atau sekalian seperti gadis muda demonstran—tanpa kata-kata, tanpa teriakan, tanpa tangan mengepal—menyuarakan keberanian dengan tatapan mata yang menantang lantang.

Di saat yang lain, mata fisik istirah sejenak—seperti Mohammad Mohiedine Anis, yang menurut mata pandangan saya, ia menggunakan keluasan dan kedalaman mati hati—untuk merangkum sunyi peperangan di Aleppo.

Pokonya, hati-hati menggunakan tatapan mata Anda! []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun